Manusia menciptakan sistem ekonomi dan pembangunan demi mengelola sumber daya yang terbatas agar bisa menghidupi perut manusia yang tidak terbatas. Tapi, yang terjadi, kemakmuran tidak berlaku untuk semua manusia, ketimpangan masih bertahta, terutama di kawasan South Global, dan bumi yang panas serta perubahan iklim yang mengancam seluruh populasi.
Jadi, di dalam ekosistem yang sarat ketegangan (dan potensi ledakan) di mana-mana, menjadi manusia dewasa sungguh-sungguh adalah pertaruhan, bukan? Kecuali, kita menilai perkara-perkara di atas, hanya berita buruk di televisi, di antara tayangan sinetron.
Lantas, bagaimana meletakan isu "sharenting" dalam gambar yang semacam di atas?
Sosial Media sebagai Labiran Kebosanan. Saya beruntung telah menjadi jenis yang sudah di titik berpisah dengan segala macam bujuk rayu sosial media. Bukan karena menolaknya sejak awal.
Saya dulu bermain Facebook, teman juga sudah ribuan. Facebook membuat saya terhubung, terutama dengan teman-teman dari masa sekolah SMP dan SMA. Facebook seperti buku memori besar dimana saya bisa melihat teman-teman saya berkeluarga, berkarir, dan menua perlahan. Beberapa bahkan sudah tiada.
Facebook saya kini seperti museum digital, ada tapi tidak lagi berbagi kisah. Aplikasinya pun sudah tak terpasang gadget saya.
Kemudian, merambah ke Twitter. Dengan adanya pembatasan-kata kata, di sini terasa dunia bagi mereka yang efektif dan efesien. Saya terus merasa, bermain-main di sini sepertinya akan mengurangi drama. Sembari itu, saya melarang diri sendiri untuk mem-follow akun politisi dan kanal berita tak penting.
Saya lebih suka mengikuti informasi seputar Juventus dan kabar transfer pemain terkini, nyaris tidak lagi membaca berita politik, apalagi gosip artis. Walaupun jika ada kegegeran tertentu, masih suka kepo.
Intinya, bukan karena mengikuti nasihat jurnalis senior Bill Kovach tentang diet informasi, saya sebatas mencoba melakukan pembatasan diri. Sejauh ini cukup berhasil, terutama terhadap drama para pendukung politisi. Puncaknya, terhadap Twitter/X, posisi saya berada dalam relasi on/off.
Ketiga, saya pernah membuat akun di Instagram (IG). Yang terbit di pikiran: mungkin penting memasang foto atau video dari tempat-tempat yang saya datangi.Â
Sekadar ingin mengawetkan kenangan akan tempat-tempat yang jauh di sosial media. Lantas, di suatu masa, saya akan melihat itu lagi dari kursi malas, lutut yang gemetar, di hadapan senja yang turun pelan-pelan.