Makanya, ketika digitalisme pencitraan menyusupkan diri lewat teknologi sosial media, saya seolah-olah memiliki mekanisme defensif sendiri. Dalam semesta semacam ini, sharenting seketika tampak aneh tanpa harus banyak melakukan justifikasi.
Sekali lagi, bukankah menjadi orang dewasa yang patut atau patut sebagai orang dewasa, dalam ketetapan dunia yang terlanjur distandardisasi maupun dalam ketetapan yang kita anut sebagai penolakan terhadap yang terstandardisasi, adalah semesta rumit, naik turun, dan melelahkan?Â
Jadi, secara subyektif, perkara sharenting ini pertama-tama bukanlah dampaknya pada anak, pada mekanisme algoritma, atau pada manipulasi Big Data--tentu saja, dampak-dampak semacam ini selalu penting ditakar. Pertanyaan saya lebih berat kepada drama diri sebagai orangtua yang patut di era yang kesulitan rayuan hasrat seperti sekarang ini.
Sharenting seolah-olah keinginan menunjukan hidup bahagia orangtua kekinian kepada khalayak asing, melalui serentetan kenangan manis yang terabadikan oleh pengarsipan digitalisme.Â
Tapi kita juga diberitahu di tengah perayaan sharenting, dalam banyak situasi, kebahagiaan yang macam begini bukan saja sensasional, ia juga sarat kepalsuan atau ilusi, bahkan bisa mencelakakan.Â
Orang-orang dewasa memang tak selalu otomatis menjadi orangtua. Seumpama ia berpendidikan dan berkemakmuran sekalipun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI