Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menimbang-nimbang Sharenting dan Ilusi Kebahagiaan Ortu Kekinian

29 Januari 2025   11:09 Diperbarui: 29 Januari 2025   19:45 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: shutterstock.com

Celakanya, tanpa harus menghabiskan waktu yang lama, saya merasa rencana-rencana di atas adalah pekerjaan sia-sia belaka. Jadi akun IG saya juga mendadak disorientasi. Masih eksis tapi memilih bungkam selama mungkin. Aplikasinya sudah pula uninstall.

Sesudah tiga periode bersosial media ini, saya terus bertanya: sudah berapa tahun dihabiskan untuk bermain-main dengan digitalisme semacam itu? Ketololan-ketololan apa yang pernah saya umbar dengan sengaja dan penuh kegembiraan diri di sana? Wow, ternyata ini adalah perjalanan waktu yang sangat lama. 

Walau tak semuanya buruk, terasa ada kesia-siaan yang cukup panjang di sana. Pendek dikata, saya adalah jenis yang tidak cakap menggunakan sosial media.

Sosial media saya tidak bisa menghasilkan popularitas atau pengaruh, apalagi banjir cuan. Bahkan untuk kangen-kangenan yang gratis dengan kawan-kawan dari masa lalu saja, saya jenis yang gagal! Sosial media ternyata hanya kubangan kebosanan.

Mungkin karena situasi keterhubungan yang semacam ini, isu Sharenting juga terasa mengada-ada belaka buat saya. Mengapa orang melakukan praktik ini di sosial media? Buat mencari apa? Apa tidak cukup dengan memasang foto anak di status WhatsApp saja?

Saya bukan tak pernah memasang foto anak di sosial media. Tapi, seingat saya, sebatas WhatsApp dengan daftar kontak yang sedikit. Di luar itu, yang kebanyakan dipamerkan adalah diri sendiri, entah sedang di Sungai Katingan, Pegunungan Arfak atau di pesisir Raja Ampat--seolah-olah penjelajah Eropa di Abad XVIII.

Ditambah lagi, kalau mengingat bagaimana Bapak dan Ibu mengasuh keluarganya, saya makin bingung dengan relevansi sharenting.

Bapak adalah orang yang paling tidak suka dinding rumahnya dipaku untuk memasang, bahkan, foto keluarga. Tapi tak masalah jika dinding yang bersih dicoret anak-anaknya karena (berpikir bisa) melukis, dll. 

Album foto kami sekeluarga pun tak lebih dari 10 dan hanya album tipis. Foto-fotonya berasal dari masa yang sangat jauh, ketika masih seumuran anak-anak SD. Sisanya tak ada lagi gambar keluarga diabadikan.

Ketika kami semua berkeluarga, di rumah Bapak, hanya ada dua foto di dinding kamar. Foto Bapak dan Ibu saja, dalam hitam putih, bingkai kecil, sebelahan.

Buah tak jatuh dari pohonnya. Di rumah saya sendiri, foto-foto di dinding juga tak ada. Saya bahkan menerapkan aturan Bapak tentang dinding terlarang dipaku hanya untuk bingkai foto. Rumah adik-adik saya juga sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun