Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola dan Emosi Bangsa Pascakolonial

11 September 2024   12:05 Diperbarui: 12 September 2024   11:42 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia Vs Australia di kualifikasi Piala Dunia 2026 (ANTARA/HAFIDZ MUBARAK via KOMPAS.com)

Ia berada di antara yang abstrak dan yang riil, pasang dan surut. Sebagai entitas yang bergerak di dalam sejarah sekaligus "melampauinya". 

Secara riil, ia memiliki wujud berupa teritorial yang luas sekali, berkepulauan juga kemajemukan suku bangsa tiada bandingnya. Dalam pada ini, secara abstrak, tanah air memiliki ingatan kolektif (imagined communities) dan bahasa pengantar yang tumbuh mengikuti sejarah dijajah dan melawan dengan sengit.  

Di dalam persilangan teritori dan narasi historis, kita tumbuh beranakpinak, merantau jauh, kawin mawin, hingga ke negeri-negeri di Utara. Kita tidak berdiam di dalam lokasi yang tertutup, sebaliknya, menciptakan globalisasi. 

Persis dalam ruang seperti ini: sejarah negeri jajahan, persilangan manusia Indonesia, dan dunia yang terbuka, kita menghormati keputusan Maarten Paes memilih Indonesia karena menghormati neneknya yang pernah hidup di Kediri, misalnya. 

Dengan kata lain, kita sedang membaca jenis nasionalisme yang berbeda. Emosi terdalam kita tentang tanah air diperkaya lagi. Dan, lihatlah, bagaimana sepak bola memfasilitasinya. Sepak bola menghantar kita pada ikatan kebersatuan yang lebih semarak lagi. 

Dalam spirit kebersatuan itu, Tanah Airku-nya Ibu Sud adalah api yang membuat siapapun kta (seharusnya) merinding. Kecuali kita memaknai bangsa ini dalam imajinasi ideologi dan proyeksi yang berbeda.


Lalu, lihatlah kehidupan di luar sepak bola. Maksud saya, pada hiruk pikuk politik. Mengapa politik?

Sebab politik paling sering mengeksploitasi apa yang disebut sebagai popular nationalism, yang di antaranya ditumbuhkan dan dirayakan oleh masyarakat sepak bola. 

Keramaian politik dari orang-orang yang berburu kuasa (saya tidak akan bilang "politik kita") hari-hari terakhir ini kembali ke titik riuhnya, sesudah Pileg dan Pilpres. 

Tapi ini bukan perayaan kita, ini hanya perayaan segelintir orang belaka. Maka, wajar saja jika sejak awal, George Aditjondro menyebutnya sebagai PILKADAL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun