Yang disebut Pilkada sering kali merupakan panggung bagi restorasi orang kuat lokal, apa yang disebut sebagai menguatnya local bossism. Bukan tak ada ruang bagi alternatif politics, namun penyempitannya begitu kuat dan merata di mana-mana.
Kita juga tahu skala kerusakan yang sedang diproduksi lewat pilkada, misalnya dengan angka korupsi kepala daerah atau elite lokal. Tapi kita tidak bisa ke mana-mana walau bisa merasa tanah air, politik, dan kesejahteraan tidak selalu sejalan, bahkan ketika kita sudah merdeka.
Di saat yang sama juga, sebuah rezim sedang menuju senjakala. Rezim yang mengubah cinta menjadi benci pendukungnya. Sebagaimana perasaan Goenawan Mohamad hingga majalah Tempo. Dan yang sedang keras mengkritik adalah Mahfud MD.Â
Saya tidak terlalu ambil peduli dengan argumen yang bilang, "Ah, masih lebih banyak yang menyukai Pak Jokowi dibanding mereka yang berdemonstrasi, termasuk para guru besar, artis, dll itu."
Atau berkata, "Pak Mahfud juga bagian dari rezim kok sebelum jadi Cawapres Ganjar. Mengapa baru berisik sekarang, karena kalah pilpres?"
Tak lagi penting. Saya hanya sedang menunggu arus ini akan ke mana muara ketegangannya.Â
Rekonsolidasi macam apa yang akan terjadi? Siapa yang bakal diuntungkan dari semua arus yang merangkak ini? Toh, transisi demokrasi pascaordebaru sudah lama tidak dalam kendali warga; bukan milik populis. Jadi buat apalagi?
Saya cuma bersyukur saja sebagai bagian dari generasi bangsa paskakolonial. Kita masih punya sepak bola dan timnas serupa tamansari nasionalisme. Kalau kamu?Â
Walaupun banyak pemilu kualami,
Tak ada yang bikin percaya
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H