Ia berada di antara yang abstrak dan yang riil, pasang dan surut. Sebagai entitas yang bergerak di dalam sejarah sekaligus "melampauinya".Â
Secara riil, ia memiliki wujud berupa teritorial yang luas sekali, berkepulauan juga kemajemukan suku bangsa tiada bandingnya. Dalam pada ini, secara abstrak, tanah air memiliki ingatan kolektif (imagined communities) dan bahasa pengantar yang tumbuh mengikuti sejarah dijajah dan melawan dengan sengit. Â
Di dalam persilangan teritori dan narasi historis, kita tumbuh beranakpinak, merantau jauh, kawin mawin, hingga ke negeri-negeri di Utara. Kita tidak berdiam di dalam lokasi yang tertutup, sebaliknya, menciptakan globalisasi.Â
Persis dalam ruang seperti ini: sejarah negeri jajahan, persilangan manusia Indonesia, dan dunia yang terbuka, kita menghormati keputusan Maarten Paes memilih Indonesia karena menghormati neneknya yang pernah hidup di Kediri, misalnya.Â
Dengan kata lain, kita sedang membaca jenis nasionalisme yang berbeda. Emosi terdalam kita tentang tanah air diperkaya lagi. Dan, lihatlah, bagaimana sepak bola memfasilitasinya. Sepak bola menghantar kita pada ikatan kebersatuan yang lebih semarak lagi.Â
Dalam spirit kebersatuan itu, Tanah Airku-nya Ibu Sud adalah api yang membuat siapapun kta (seharusnya) merinding. Kecuali kita memaknai bangsa ini dalam imajinasi ideologi dan proyeksi yang berbeda.
Lalu, lihatlah kehidupan di luar sepak bola. Maksud saya, pada hiruk pikuk politik. Mengapa politik?
Sebab politik paling sering mengeksploitasi apa yang disebut sebagai popular nationalism, yang di antaranya ditumbuhkan dan dirayakan oleh masyarakat sepak bola.Â
Keramaian politik dari orang-orang yang berburu kuasa (saya tidak akan bilang "politik kita") hari-hari terakhir ini kembali ke titik riuhnya, sesudah Pileg dan Pilpres.Â
Tapi ini bukan perayaan kita, ini hanya perayaan segelintir orang belaka. Maka, wajar saja jika sejak awal, George Aditjondro menyebutnya sebagai PILKADAL.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!