Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong", Apa yang Kita Baca?

21 Agustus 2024   19:44 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:40 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Courtesy of Gramedia Pustaka Utama 

Serupa kekerasan militer, toxic masculinity (baca: "laki-laki sejati harus berdiri"), kehidupan jalanan supir truk antar kota hingga pembalasan dendam perempuan. 

Ketika menikmati adaptasi filmnya di Netflix, saya memang melihat film yang berbeda--film ini bahkan diputar pada Festival Film Internasional Locarno, Swiss tahun 2021. Namun dalam banyak hal, saya kehilangan kekayaan kisah yang berkembang di dalam versi novelnya.

Sama halnya ketika membaca Cantik Itu Luka (2002) yang merupakan novel pertamanya. Setting kolonial, pelacuran, mitologi lokal, dan takdir yang absurd pada riwayat hidup Dewi Ayu bersama tragedi-tragedinya. Novel yang semacam ini membuat saya jatuh cinta.

Di novel terbaru Eka yang terbit lagi sesudah sewindu kekosongan ini tidak berangkat dengan spektrum yang sama. Juga tak ditujukan membangun dunia sosial yang kompleks, yang tak serba hitam putih, sebagaimana karya sebelumnya.

Jadi, apa kesimpulan yang bisa dikenakan sejauh ini?

Seperti diari sebuah zaman. Sesudah menyelesaikan seluruh bab yang menyusun Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, saya teringat pada generasi remaja di pertengahan tahun 1980-an.

Saya mengenang lagi hari-hari ketika kami bermain sepak bola hingga azan magrib dan dibubarkan penjaga masjid yang marah. Atau ketika di suatu sore, saya terpaksa melarikan diri dari teman-teman karena dicari bapak yang tergopoh-gopoh dengan sebatang beluntas di tangan. 

Saya tidak sedang berkisah tentang disiplin kesalehan yang sama dengan yang dialami Sato Reang. Yang saya kenang adalah betapa figur bapak/ayah begitu kuat, secara publik maupun domestik. 

Sosok bapak/ayah di zaman itu adalah penentu dalam banyak hal, selayaknya "cultural broker" di masyarakat pedesaan yang homogen. Tapi fungsi sosial ini tak berdiri sendiri.

Sebab, pada konfigurasi yang lebih besar dari keluarga, konteks sosio-historis dalam novel-novel Eka Kurniawan (selalu) merefleksikan struktur sosial postkolonial, khususnya masyarakat Orde Baru. Dimana negara begitu kuat mencengkram, termasuk mendefinisikan dan mendisiplinkan yang dimaksud sebagai keluarga ideal. 

Dengan kata lain, jika kita membayangkan kisah Sato Reang dalam imajinasi yang lebih besar lagi maka Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah kisah tentang generasi yang gelisah di balik keteraturan dan keharmonisan yang ditampilkan melalui religiusitas sehari-hari masyarakat pedesaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun