Serupa kekerasan militer, toxic masculinity (baca: "laki-laki sejati harus berdiri"), kehidupan jalanan supir truk antar kota hingga pembalasan dendam perempuan.Â
Ketika menikmati adaptasi filmnya di Netflix, saya memang melihat film yang berbeda--film ini bahkan diputar pada Festival Film Internasional Locarno, Swiss tahun 2021. Namun dalam banyak hal, saya kehilangan kekayaan kisah yang berkembang di dalam versi novelnya.
Sama halnya ketika membaca Cantik Itu Luka (2002) yang merupakan novel pertamanya. Setting kolonial, pelacuran, mitologi lokal, dan takdir yang absurd pada riwayat hidup Dewi Ayu bersama tragedi-tragedinya. Novel yang semacam ini membuat saya jatuh cinta.
Di novel terbaru Eka yang terbit lagi sesudah sewindu kekosongan ini tidak berangkat dengan spektrum yang sama. Juga tak ditujukan membangun dunia sosial yang kompleks, yang tak serba hitam putih, sebagaimana karya sebelumnya.
Jadi, apa kesimpulan yang bisa dikenakan sejauh ini?
Seperti diari sebuah zaman. Sesudah menyelesaikan seluruh bab yang menyusun Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, saya teringat pada generasi remaja di pertengahan tahun 1980-an.
Saya mengenang lagi hari-hari ketika kami bermain sepak bola hingga azan magrib dan dibubarkan penjaga masjid yang marah. Atau ketika di suatu sore, saya terpaksa melarikan diri dari teman-teman karena dicari bapak yang tergopoh-gopoh dengan sebatang beluntas di tangan.Â
Saya tidak sedang berkisah tentang disiplin kesalehan yang sama dengan yang dialami Sato Reang. Yang saya kenang adalah betapa figur bapak/ayah begitu kuat, secara publik maupun domestik.Â
Sosok bapak/ayah di zaman itu adalah penentu dalam banyak hal, selayaknya "cultural broker" di masyarakat pedesaan yang homogen. Tapi fungsi sosial ini tak berdiri sendiri.
Sebab, pada konfigurasi yang lebih besar dari keluarga, konteks sosio-historis dalam novel-novel Eka Kurniawan (selalu) merefleksikan struktur sosial postkolonial, khususnya masyarakat Orde Baru. Dimana negara begitu kuat mencengkram, termasuk mendefinisikan dan mendisiplinkan yang dimaksud sebagai keluarga ideal.Â
Dengan kata lain, jika kita membayangkan kisah Sato Reang dalam imajinasi yang lebih besar lagi maka Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah kisah tentang generasi yang gelisah di balik keteraturan dan keharmonisan yang ditampilkan melalui religiusitas sehari-hari masyarakat pedesaan.