Eka Kurniawan akhirnya menulis lagi novel yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.Â
Sampulnya agak unik, tidak seperti yang sebelumnya. Judulnya pun lebih mirip plesetan, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong.Â
Saat membaca judulnya, saya merangkai praduga. Kali ini, Tuan Eka sedang mengisahkan apa?
Sesungguhnya, saya menaruh curiga jika novel ini adalah fabel yang kaya, yang kisahnya bermain-main di antara realisme dan surealisme. Masih terbayang kisah seekor monyet di dalam "O"yang juga dikarang Eka (2016).Â
Sebab itu, pikir saya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah semacam isyarat akan zaman yang bertukar kebiasaan, sekurangnya bertukar peran. Dan bisa pula bermaksud mengirim pesan tentang zaman dalam ketidaklaziman, sejenis ketakpatuhan.Â
Artinya, ini tentang cerita dimana nilai, norma atau kebiasaan lama pelan-pelan ditinggalkan.
Jadi tak ingin lama disiksa penasaran, di tengah kesulitan menyelesaikan membaca novel, saya perlahan khusyuk ke halaman demi halaman novel yang tipis ini sebelum tidur. Di hari pertama, saya baru sempat menyelesaikan dua bab, kemudian melanjutkan lagi di antara waktu senggang jam kerja.Â
Apa yang saya baca?Â
Premis novel ini adalah kisah seorang remaja yang sedang muak dengan hidup religius (kesalehan individu) dan figur Bapak yang serba mendisiplinkan, kalau bukan otoriter.Â
Dalam keluarga yang semacam ini, sang tokoh berinteraksi dengan lingkungan sekolah atau pergaulan remaja yang mulai tak sepenuhnya patuh.
Sato Reang, nama sang tokoh utama. Ia tengah tumbuh sebagai remaja laki-laki dengan pembangkangan terhadap adab kebiasaan lama masyarakat. Adab yang menjaga kesalehan individu sehari-hari. Adab semacam ini dikontrol ketat dan keras kehadiran ayahnya.Â
Lambat laun, kesalehan yang dikontrol dengan hukuman fisik ini berkembang selayaknya penjara. Terlebih-lebih bagi keinginan-keinginan seorang remaja. Keinginan bermain sepak bola tanpa peduli azan magrib. Bermain di kali tanpa khawatir ayahnya akan datang dengan sebatang rotan.
Pada dasarnya, pusat konfliknya adalah, Sato Reang memendam kehendak untuk bebas dari pengawasan dan pendisiplinan sang ayah sebagai simbol dari adab lama.Â
Di saat yang bersamaan, kebiasaan sehari-hari sang ayah telah berkembang menjadi standar moral yang digunakan tetangganya untuk mengevaluasi Sato Reang. Apalagi ketika ayahnya sudah wafat, orang-orang menginginkan dirinya meneruskan jejak kebiasaan dan keteladanan sang ayah.Â
Juga di sekolah (baca: institusi di luar keluarga yang berfungsi menginternalisasi nilai-nilai di masyarakat), Sato Reang mesti berjumpa dengan Jamal, remaja seumuran yang tertib dan saleh. Di tengah kemuakkannya, kehadiran Jamal seolah-olah mewakili tatapan mengawasi sang ayah.Â
Sato Reang pun memendam kebencian yang intens di sanubari terdalam batinnya. Ditambah lagi, beberapa momen traumatik pernah dititipkan ayahnya semasa hidup.
Yang tak kalah penting disadari adalah konteks sehari-hari yang membentuk pergaulan dan cara pandang Sato Reang bukanlah dunia yang terdigitalisasi, tidak mewakili kenyataan Gen Z dan generasi seterusnya.Â
Pembangkangan Sato Raeng dan kawanannya bukan tanpa tumbal. Jamal yang saleh dan pendiam seketika berubah menjadi remaja yang "rusak" karena tekanan kelompok sebaya. Kisah ini lantas dititip dengan kematian Jamal yang mendadak dan getir.
Apa yang bisa bisa disimpulkan sejauh ini?Â
Kesan paling awal adalah berbeda dengan novel-novel Eka sebelumnya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah kisah yang (jauh lebih) sederhana.Â
Pada Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), misalnya, kita membaca kelindan banyak karakter, tak sebatas Ajo Kawir dan Iteung. Jalinan itu diperkaya lagi oleh interaksi tema yang membentuk tubuh cerita.Â
Serupa kekerasan militer, toxic masculinity (baca: "laki-laki sejati harus berdiri"), kehidupan jalanan supir truk antar kota hingga pembalasan dendam perempuan.Â
Ketika menikmati adaptasi filmnya di Netflix, saya memang melihat film yang berbeda--film ini bahkan diputar pada Festival Film Internasional Locarno, Swiss tahun 2021. Namun dalam banyak hal, saya kehilangan kekayaan kisah yang berkembang di dalam versi novelnya.
Sama halnya ketika membaca Cantik Itu Luka (2002) yang merupakan novel pertamanya. Setting kolonial, pelacuran, mitologi lokal, dan takdir yang absurd pada riwayat hidup Dewi Ayu bersama tragedi-tragedinya. Novel yang semacam ini membuat saya jatuh cinta.
Di novel terbaru Eka yang terbit lagi sesudah sewindu kekosongan ini tidak berangkat dengan spektrum yang sama. Juga tak ditujukan membangun dunia sosial yang kompleks, yang tak serba hitam putih, sebagaimana karya sebelumnya.
Jadi, apa kesimpulan yang bisa dikenakan sejauh ini?
Seperti diari sebuah zaman. Sesudah menyelesaikan seluruh bab yang menyusun Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, saya teringat pada generasi remaja di pertengahan tahun 1980-an.
Saya mengenang lagi hari-hari ketika kami bermain sepak bola hingga azan magrib dan dibubarkan penjaga masjid yang marah. Atau ketika di suatu sore, saya terpaksa melarikan diri dari teman-teman karena dicari bapak yang tergopoh-gopoh dengan sebatang beluntas di tangan.Â
Saya tidak sedang berkisah tentang disiplin kesalehan yang sama dengan yang dialami Sato Reang. Yang saya kenang adalah betapa figur bapak/ayah begitu kuat, secara publik maupun domestik.Â
Sosok bapak/ayah di zaman itu adalah penentu dalam banyak hal, selayaknya "cultural broker" di masyarakat pedesaan yang homogen. Tapi fungsi sosial ini tak berdiri sendiri.
Sebab, pada konfigurasi yang lebih besar dari keluarga, konteks sosio-historis dalam novel-novel Eka Kurniawan (selalu) merefleksikan struktur sosial postkolonial, khususnya masyarakat Orde Baru. Dimana negara begitu kuat mencengkram, termasuk mendefinisikan dan mendisiplinkan yang dimaksud sebagai keluarga ideal.Â
Dengan kata lain, jika kita membayangkan kisah Sato Reang dalam imajinasi yang lebih besar lagi maka Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah kisah tentang generasi yang gelisah di balik keteraturan dan keharmonisan yang ditampilkan melalui religiusitas sehari-hari masyarakat pedesaan.
Generasi ini, dengan rupa-rupa asal-usulnya, mulai menolak patuh dengan adab lama. Lalu pelan-pelan mendobrak preferensi moral kolektif yang bertahun-tahun menjaga tabu atau keharusan. Mereka serupa rombongan rayap di dalam kayu.
Masyarakat akhirnya bergerak ke dalam dua pendulum, paling kurang begitu. Terbagi kedalam kelompok yang bertahan dengan adab lama dan yang berusaha lepas dari remote kendali yang lama.
Pendek kata, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong lebih mirip nostalgia dari sebuah generasi, mungkin milik penulisnya sendiri.Â
Membacanya seperti sedang memutar film hitam putih di kepala. Begitu dekat dari masa lampau namun tidak cukup menyisakan gaya Eka yang kompleks dalam berkisah.Â
Begitulah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H