Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kelas Menengah Bawah: Terkutuk di Kanan, Tersudutkan di Kiri

5 Maret 2024   13:16 Diperbarui: 6 Maret 2024   12:45 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pekerja kantor berada di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, saat jam pulang kerja, Jumat (24/3/2023) (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Mengapa dengan Kelas Menengah? Pada 10 Mei 2020, ada peristiwa dari Jakarta yang disindir sebagai wujud ekspresi kelas menengah yang ngehek. 

Saat itu, gerai pertama restoran cepat saji (fast food) McDonald yang berada di Sarinah Thamrin akan tutup sesudah beroperasi sejak 14 Februari 1991. Penutupan gerai pertama makanan cepat saji di Indonesia berkembang menjadi "kerumuman kesedihan". 

Kesedihan yang dirayakan dari mereka yang bertahun-tahun menyimpan kenangan di gerai tersebut. CNN Indonesia (08/08/2020), satu yang cukup dramatis dalam konteks ini. Situs berita ini bilang:

Setelah 30 tahun berdiri di Indonesia, tak dimungkiri restoran ini menjadi bagian hidup dari banyak orang. Ada kenangan yang tertinggal di tiap sudut restoran 24 jam ini. 

Bukan cuma soal ayamnya yang renyah dan burger yang gurih serta paket sarapannya yang enak, tapi ada yang jadi cerita hidup, tempat keluh kesah, juga kongko bersama sahabat atau bahkan kekasih saat keuangan mencekik di malam minggu.

Di hari ketika penutupan dilakukan, Kompas.com (11/05/202) menceritakan, mereka berdatangan dengan para orang tua hingga anak-anak untuk sekadar mengenang kembali memori masa indah saat kecil makan di rumah makan cepat saji itu. Antrean pun mengular sampai keluar restoran.

Saat itu pandemi Covid-19 dan Jakarta sedang dalam Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). 

Pada saat kebanyakan jelata pekerja jungkir balik menyelamatkan batas subsistensi harian, mengalami pembatasan mobilisasi hingga pemecatan tiba-tiba, kelas menengah-atas seolah tak tersentuh semua kemalangan itu. Bahkan bisa bersikap bodoh amat! seperti di momen penutupan gerai McDonald Sarinah.

Kelas Menengah dan Variasinya. World Bank (dalam Aspiring Indonesia--Expanding the Middle Class: 2019) mengatakan Kelas Menengah adalah mereka yang menikmati keamanan ekonomi (economic security). 

Ini berarti mereka bebas dari kekhawatiran akan kemiskinan moneter dan, sebagai konsekuensinya, mereka mengalihkan pendapatan mereka kepada konsumsi diskresi dibandingkan kebutuhan subsisten. Kelas ini menghabiskan pengeluaran di antara Rp1.200.000 - Rp6.000.000  per orang sebulan.

Konsumsi diskresi merupakan jenis konsumsi yang jika dilakukan tidak akan mengganggu biaya kebutuhan rumah tangga. Contohnya semisal biaya untuk jalan-jalan atau hiburan atau nongkrong di gerai McDonald saban pulang kerja.

Itu sama bermakna mereka tidak khawatir harga beras, telur, daging dan minyak goreng naik lalu pemerintah bicara macam-macam soal impor barang kebutuhan tersebut. 

Mereka jelas tidak dikejar-kejar karyawan koperasi dengan kertas kuning yang saban hari masuk keluar pemukiman padat menderita untuk menarik setoran dari peminjam.

Walau mereka bisa bersatu padu memprotes tukang ojek online yang memaksa masuk jalur Busway sembari menutup mata dan mulut dari jumlah kepemilikan mobil pribadi yang memenuhi kemacetan Jakarta. 

Di sisi lain, kelas menengah bukanlah kelompok sosial yang malas, pemilik warisan tujuh turunan atau bangsa ongkang-ongkang kaki. Dengan kecerewetannya (terutama di sosial media), mereka juga tak otomatis tumbuh sebagai kelompok mengambang-bebas yang tidak berempati pada penderitaan golongan lain. 

Yang jelas, menjadi kelas menengah tetaplah menyaratkan pemenuhan kompetensi demi memenuhi standar dari kelayakan tertentu. 

Bekerja keras tetap dituntut demi memiliki daya beli tertentu sehingga bisa mengakses akan layanan yang tidak selalu dibantu oleh kebijakan pemerintah, misalnya dalam bentuk subsidi. Bedanya, barangkali, tidak sebagai proletariat tapi kognitariat. 

Namun, karena posisinya yang kognitariat, ada pandangan yang memposisikan spesies yang satu ini sebagai pseudo-kelas; tidak konkrit dan mengada-ada belaka. Tidak seperti relasi pertentangan kelas borjuasi vs proletar dalam sistem kapitalisme. 

Terlepas dari relasi pertentangan di atas, beberapa dari anggota kelas sini telah mencapai level kemapanan tertentu. Dengan begitu, bisa tetap bertahan dengan batas pengeluaran tanpa mengalami siklus kejatuhan kelas. 

Kondisi instabil semacam ini tidak saja menandakan positioning yang belum benar-benar kuat di tengah, namun juga menggambarkan variasi dari dinamika kerentanan kelas di depan kejutan ekonomi. 

Kelompok instabil semacam ini disebut dengan Calon Kelas Menengah (Aspiring Middle Class). 

Mereka sudah keluar dari jeratan kemiskinan namun belum se-establish kelas menengah atas. Mereka lebih mewakili realita Kelas Menengah Bawah.

Menariknya, lembaga pembangunan dunia yang dijuluki "The Unholy Trinity" (sindiran terhadap tiga institusi superstate yang mendisiplinkan proyek Neoliberalisme secara global, selain World Trade Organization dan International Monetary Fund) World Bank menyebutkan jika kelompok masyarakat menuju kelas menengah sangat penting untuk membuka potensi pembangunan Indonesia dan mendorong Indonesia ke status negara berpenghasilan tinggi. 

Masalahnya tidak serta merta dengan menjadi negara berpenghasilan tinggi lantas Indonesia adalah negara modern yang mengayomi kebutuhan semua warga negara. 

Kelas Menengah dan Keresahan Politik. Salah satu kekhawatiran terhadap pertumbuhan kelas menengah disampaikan oleh mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Pendapatnya dapat dibaca dalam artikel Kelas Menengah RI Butuh Perhatian Sebelum Terlambat, yang dimuat Kompas (8/12/2023).

Membandingkan dengan Chile di Amerika Latin yang dinilai memiliki arsitektur dan fokus pembangunan yang sama dengan Indonesia, Chatib Basri mengingatkan pemerintah agar tidak semata fokus pada vertical inequality. 

Yaitu fokus pada kebijakan ekonomi pemerintah yang fokus pada memperkecil jurang ketimpangan pendapatan, mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. FYI, Chatib Basri juga menulis artikel Keadilan yang Terusik dan Pembangunan Ekonomi yang mendiskusikan situasi Chile dan keresahan kelas menengah bawah.

Namun, dengan pertumbuhan kelompok ini terutama kelas menengah bawah, perhatian pada horizontal equality atau ketimpangan kualitas hidup, yang menjadi perhatian mereka sudah semestinya didesain dengan seksama. 

Andai kata negara gagal, maka ketidakpuasan di kelas menengah bawah yang berhubungan dengan kualitas hidup dan kerja, akses kebutuhan pokok, perumahan yang terjangkau, rasa keadilan politik dan ekonomi, keterbukaan, dan demokrasi dapat menjadi bahan bakar keresahan sosial hingga mobilisasi protes. 

Pendek cerita, semakin besar populasi kelas menengah, semakin relevan pula isu-isu keadilan dan kualitas ekonomi demikian Kompas menegaskan. Dalam kaitan ini, kita perlu melihat sekilas posisi kelas menengah bawah dalam ketegangan dua kutub ideologi politk, sebuat saja, di antara Kiri dan Kanan.

Kelas Menengah (Bawah) dalam Tegangan Dua Kutub. Kebanyakan kita yang memiliki waktu luang, akses internet, laptop dan kafe, melek informasi untuk misuh-misuh di Kompasiana sangat bisa jadi mewakili keanggotaan dalam kelas menegah yang satu ini. Tentu saja para admin yang menyepakati percakapan tentang kelas ini sebagai Topik Pilihan bukan pengecualian.

Kita memiliki latar belakang biografi hingga kompetensi profesi yang beraneka. 

Ada ASN, dosen, pengusaha rumahan, hingga pekerja profesional dengan rate pengeluaran yang disebut World Bank sebagai bagian dari Aspiring Middle Class. Internet menghubungkan kita, mendudukkan kita dalam sebuah isu, namun tidak menjadikan semua itu melebur sebagai sebuah kelompok yang solid.

Mengapa begitu? Ada banyak sekali alasan atau tidak cukup alasan mengapa kita mesti bersatu. 

Namun setidaknya, posisi ideologi kita terhadap persoalan-persoalan publik, semisal pemilu dan elitisme, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan, nasib guru honorer, nasib malang kita sendiri mewakili titik perhatian dan pandang yang berbeda-beda, titik yang beragam. 

Itu artinya jika ideologi adalah seperangkat gagasan/ideal yang sistematis tentang masa depan yang dibayangkan berbeda dari hari ini, kita tidak ada di sana. Nasib, kecemasan dan suara kita tidak seperti kaum tani, kaum miskin perkotaan, buruh, dan nelayan miskin. 

Dalam banyak kondisi--dan terutama pergulatan menengah bawah yang bertahun-tahun menantang siklus kejatuhan kelas--kita justru dianggap sebangsa munafik. Sebagai bagian yang sejatinya kerja keras bagai kuda tapi hidup biasa-biasa saja, kemarahan kita mudah bergema karena terganggunya batas kenyamanan sendiri.  

Tegasnya, di mata golongan politik Kiri, Kelas Menengah Bawah adalah gelembung kesia-siaan, egois yang minus ideologi.

Sedang di sebelah yang lain, dalam hirarki yang masih sama, kita tak akan pernah cukup layak naik ke golongan atas. Apalagi sebagai bagian dari yang segelintir keluarga yang setiap tahun disebut majalah Forbes.

Kerja keras kita tidak pernah sederhana. Mungkin beberapa dari kita adalah pengecualian, ketika mereka mencapai posisi elitisme tertentu (dan jelas tidak misuh-misuh di Kompasiana, dong).

Sebab itu, di barisan yang Kanan ini, kita seperti terkutuk. 

Dibayar untuk jam kerja sejumlah 40 jam seminggu saja selalu tidak cukup untuk cicilan KPR, biaya skincare bulanan, uang sekolah anak, cicilan Indihome-Netflix-Vidio, servis motor/mobil, dan juga gas 3kg. Kerja keras masih tidak cukup untuk menukar-tambah nasib. Masih belum layak ke atas.

Kejepit, sesak nafas setiap bulan, tapi tidak ada cara lain. Bertahan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun