Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kelas Menengah Bawah: Terkutuk di Kanan, Tersudutkan di Kiri

5 Maret 2024   13:16 Diperbarui: 6 Maret 2024   12:45 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pekerja kantor berada di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, saat jam pulang kerja, Jumat (24/3/2023) (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Kita memiliki latar belakang biografi hingga kompetensi profesi yang beraneka. 

Ada ASN, dosen, pengusaha rumahan, hingga pekerja profesional dengan rate pengeluaran yang disebut World Bank sebagai bagian dari Aspiring Middle Class. Internet menghubungkan kita, mendudukkan kita dalam sebuah isu, namun tidak menjadikan semua itu melebur sebagai sebuah kelompok yang solid.

Mengapa begitu? Ada banyak sekali alasan atau tidak cukup alasan mengapa kita mesti bersatu. 

Namun setidaknya, posisi ideologi kita terhadap persoalan-persoalan publik, semisal pemilu dan elitisme, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan, nasib guru honorer, nasib malang kita sendiri mewakili titik perhatian dan pandang yang berbeda-beda, titik yang beragam. 

Itu artinya jika ideologi adalah seperangkat gagasan/ideal yang sistematis tentang masa depan yang dibayangkan berbeda dari hari ini, kita tidak ada di sana. Nasib, kecemasan dan suara kita tidak seperti kaum tani, kaum miskin perkotaan, buruh, dan nelayan miskin. 

Dalam banyak kondisi--dan terutama pergulatan menengah bawah yang bertahun-tahun menantang siklus kejatuhan kelas--kita justru dianggap sebangsa munafik. Sebagai bagian yang sejatinya kerja keras bagai kuda tapi hidup biasa-biasa saja, kemarahan kita mudah bergema karena terganggunya batas kenyamanan sendiri.  

Tegasnya, di mata golongan politik Kiri, Kelas Menengah Bawah adalah gelembung kesia-siaan, egois yang minus ideologi.

Sedang di sebelah yang lain, dalam hirarki yang masih sama, kita tak akan pernah cukup layak naik ke golongan atas. Apalagi sebagai bagian dari yang segelintir keluarga yang setiap tahun disebut majalah Forbes.

Kerja keras kita tidak pernah sederhana. Mungkin beberapa dari kita adalah pengecualian, ketika mereka mencapai posisi elitisme tertentu (dan jelas tidak misuh-misuh di Kompasiana, dong).

Sebab itu, di barisan yang Kanan ini, kita seperti terkutuk. 

Dibayar untuk jam kerja sejumlah 40 jam seminggu saja selalu tidak cukup untuk cicilan KPR, biaya skincare bulanan, uang sekolah anak, cicilan Indihome-Netflix-Vidio, servis motor/mobil, dan juga gas 3kg. Kerja keras masih tidak cukup untuk menukar-tambah nasib. Masih belum layak ke atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun