Kelompok instabil semacam ini disebut dengan Calon Kelas Menengah (Aspiring Middle Class).Â
Mereka sudah keluar dari jeratan kemiskinan namun belum se-establish kelas menengah atas. Mereka lebih mewakili realita Kelas Menengah Bawah.
Menariknya, lembaga pembangunan dunia yang dijuluki "The Unholy Trinity" (sindiran terhadap tiga institusi superstate yang mendisiplinkan proyek Neoliberalisme secara global, selain World Trade Organization dan International Monetary Fund) World Bank menyebutkan jika kelompok masyarakat menuju kelas menengah sangat penting untuk membuka potensi pembangunan Indonesia dan mendorong Indonesia ke status negara berpenghasilan tinggi.Â
Masalahnya tidak serta merta dengan menjadi negara berpenghasilan tinggi lantas Indonesia adalah negara modern yang mengayomi kebutuhan semua warga negara.Â
Kelas Menengah dan Keresahan Politik. Salah satu kekhawatiran terhadap pertumbuhan kelas menengah disampaikan oleh mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Pendapatnya dapat dibaca dalam artikel Kelas Menengah RI Butuh Perhatian Sebelum Terlambat, yang dimuat Kompas (8/12/2023).
Membandingkan dengan Chile di Amerika Latin yang dinilai memiliki arsitektur dan fokus pembangunan yang sama dengan Indonesia, Chatib Basri mengingatkan pemerintah agar tidak semata fokus pada vertical inequality.Â
Yaitu fokus pada kebijakan ekonomi pemerintah yang fokus pada memperkecil jurang ketimpangan pendapatan, mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. FYI, Chatib Basri juga menulis artikel Keadilan yang Terusik dan Pembangunan Ekonomi yang mendiskusikan situasi Chile dan keresahan kelas menengah bawah.
Namun, dengan pertumbuhan kelompok ini terutama kelas menengah bawah, perhatian pada horizontal equality atau ketimpangan kualitas hidup, yang menjadi perhatian mereka sudah semestinya didesain dengan seksama.Â
Andai kata negara gagal, maka ketidakpuasan di kelas menengah bawah yang berhubungan dengan kualitas hidup dan kerja, akses kebutuhan pokok, perumahan yang terjangkau, rasa keadilan politik dan ekonomi, keterbukaan, dan demokrasi dapat menjadi bahan bakar keresahan sosial hingga mobilisasi protes.Â
Pendek cerita, semakin besar populasi kelas menengah, semakin relevan pula isu-isu keadilan dan kualitas ekonomi demikian Kompas menegaskan. Dalam kaitan ini, kita perlu melihat sekilas posisi kelas menengah bawah dalam ketegangan dua kutub ideologi politk, sebuat saja, di antara Kiri dan Kanan.
Kelas Menengah (Bawah) dalam Tegangan Dua Kutub. Kebanyakan kita yang memiliki waktu luang, akses internet, laptop dan kafe, melek informasi untuk misuh-misuh di Kompasiana sangat bisa jadi mewakili keanggotaan dalam kelas menegah yang satu ini. Tentu saja para admin yang menyepakati percakapan tentang kelas ini sebagai Topik Pilihan bukan pengecualian.