Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kelas Menengah Bawah: Terkutuk di Kanan, Tersudutkan di Kiri

5 Maret 2024   13:16 Diperbarui: 6 Maret 2024   12:45 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pekerja kantor berada di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, saat jam pulang kerja, Jumat (24/3/2023) (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Ini berarti mereka bebas dari kekhawatiran akan kemiskinan moneter dan, sebagai konsekuensinya, mereka mengalihkan pendapatan mereka kepada konsumsi diskresi dibandingkan kebutuhan subsisten. Kelas ini menghabiskan pengeluaran di antara Rp1.200.000 - Rp6.000.000  per orang sebulan.

Konsumsi diskresi merupakan jenis konsumsi yang jika dilakukan tidak akan mengganggu biaya kebutuhan rumah tangga. Contohnya semisal biaya untuk jalan-jalan atau hiburan atau nongkrong di gerai McDonald saban pulang kerja.

Itu sama bermakna mereka tidak khawatir harga beras, telur, daging dan minyak goreng naik lalu pemerintah bicara macam-macam soal impor barang kebutuhan tersebut. 

Mereka jelas tidak dikejar-kejar karyawan koperasi dengan kertas kuning yang saban hari masuk keluar pemukiman padat menderita untuk menarik setoran dari peminjam.

Walau mereka bisa bersatu padu memprotes tukang ojek online yang memaksa masuk jalur Busway sembari menutup mata dan mulut dari jumlah kepemilikan mobil pribadi yang memenuhi kemacetan Jakarta. 

Di sisi lain, kelas menengah bukanlah kelompok sosial yang malas, pemilik warisan tujuh turunan atau bangsa ongkang-ongkang kaki. Dengan kecerewetannya (terutama di sosial media), mereka juga tak otomatis tumbuh sebagai kelompok mengambang-bebas yang tidak berempati pada penderitaan golongan lain. 

Yang jelas, menjadi kelas menengah tetaplah menyaratkan pemenuhan kompetensi demi memenuhi standar dari kelayakan tertentu. 

Bekerja keras tetap dituntut demi memiliki daya beli tertentu sehingga bisa mengakses akan layanan yang tidak selalu dibantu oleh kebijakan pemerintah, misalnya dalam bentuk subsidi. Bedanya, barangkali, tidak sebagai proletariat tapi kognitariat. 

Namun, karena posisinya yang kognitariat, ada pandangan yang memposisikan spesies yang satu ini sebagai pseudo-kelas; tidak konkrit dan mengada-ada belaka. Tidak seperti relasi pertentangan kelas borjuasi vs proletar dalam sistem kapitalisme. 

Terlepas dari relasi pertentangan di atas, beberapa dari anggota kelas sini telah mencapai level kemapanan tertentu. Dengan begitu, bisa tetap bertahan dengan batas pengeluaran tanpa mengalami siklus kejatuhan kelas. 

Kondisi instabil semacam ini tidak saja menandakan positioning yang belum benar-benar kuat di tengah, namun juga menggambarkan variasi dari dinamika kerentanan kelas di depan kejutan ekonomi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun