Mengapa Pilpres berkunjung ke Jalan Roda di Manado?
Tanggal 16 Januari, Siti Atikoh Suprianti, istri dari Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo berkunjung ke Komunitas Jalan Roda di Manado. Sebelumnya di bulan Desember, Gibran Rakabuming yang merupakan Cawapres nomor 2 telah berkunjung ke komunitas yang sama dengan judul "Gibran Mendengar". Gibran bahkan membawa serta istrinya.
Dengan luas wilayah mencapai 14.500,27 km2, terbagi kedalam 4 Kota dan 11 Kabupaten, ditaburi 353 pulau, serta jumlah penduduk sebanyak 2,66 juta jiwa (2022), mengapa bergantian datang ke sini?Â
Dengan profil kewilayahan seperti di atas, jelas ada banyak sekali tempat, komunitas, persoalan hingga kekecewaan (politik) di Sulawesi Utara.Â
Di Minahasa saja, misalnya. Andai kunjungan politik itu melintasi Tomohon dan Tondano, mungkin bisa menyerap aspirasi yang dibutuhkan kaum tani. Apa kabar harga cengkeh hari ini? Bagaimana nasib terbaru petani kopra dan Cap Tikus?
Atau, jika pergerakan mereka menyasar pesisir Minahasa Utara dimana Likupang sedang digadang-gadang sebagai Destinasi Wisata Super Prioritas (DWSP), mungkin bisa mendengar keluhan-keluhan terbaru dari petani, nelayan dan pedagang kecil di episentrum proyek.
Tapi, mengapa mereka memutuskan ke Jalan Roda di waktu yang berdekatan?
Jawabannya bisa kita mulai dengan mencurigai alasan dominasi politik. Di sini, sudah sejak lama, PDI-P adalah bagian dari the ruling class.Â
Sekarang saja PDI-Perjuangan memiliki jumlah kursi terbanyak yaitu 18 orang atau sebesar 42,85% kursi di DPRD Sulawesi Utara. Sedangkan Golkar dan Demokrat masing-masing memiliki 4 kursi. Sisanya, PKS, PKB, GERINDRA, PSI, PAN masing-masing hanya memiliki 1 kursi (BPS Sulut, 2023).
Belum lagi puncak eksekutifnya. Dua dekade terakhir, Sulawesi Utara dipimpin oleh politisi yang disokong PDI-P. Seumpama di Jawa Tengah, Sulawesi Utara adalah lumbung dari suara Banteng.
Bagi saya, alasan dominasi tidak selalu penting diajukan sebagai klaim kewilayahan. Sebab, secara kalkulatif, posisi ini tidak bermakna terlalu besar. Alasannya sederhana saja: suara pemilih dari Sulut hanya setara suara Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat.Â
Karena itu, ada apa dengan Jalan Roda?Â
Bagian tentang Jalan Roda jauh lebih menarik dibanding mencari alasan mengapa dua kandidat memilihnya sebagai lokasi pertemuan dengan konstituen.
Membaca Jalan Roda: Jejak Kolonialisme dan Hari Ini. Dari perspektif etnografi perkotaan, Jalan Roda memang bukan sembarang jalan.Â
Sejarah jalan ini bisa dikata dibentuk dari perjumpaan dan pergeseran kuasa kolonial, pertemuan lintas etnik, pertumbuhan kota, hingga pengembangan kota di masa paska-kolonial.Â
Secara fungsional, eksistensi Jalan Roda sendiri mungkin bisa dilacak hingga ke tahun 1910, sebagaimana penjelasan yang dimuat buku berjudul Sejarah Kota Manado 1945-1979.Â
Buku klasik ini ditulis oleh FEW. Parengkan, L.Th. Manus, Rino S. Nihe dan Djoko Suryo yang terbit tahun 1986. Di halaman 32-33, mereka ceritakan: Â
Kendaraan bermotor mulai dipergunakan di Manado sekitar  tahun 1910 untuk menghubungkan Kota Manado dengan pedalaman Minahasa antara lain Kota Tomohon, Tondano, Airmadidi, dan lain-lain. Akan tetapi kendaraan angkutan yang  utama dalam kota adalah sepeda, gerobak yang disebut "roda'"serta delman atau sado yang disebut "bendi".
Terminal lama untuk kendaraan bermotor angkutan barang dan penumpang sejak masa kolonial dibangun tepat di depan Pasar Minahasa di pusat kota dan satu blok ke sebelah timurnya dibangun terminal gerobak kuda dan sapi (sampai sekarang masih disebut Jalan Roda).
Keterangan di atas bisa membantu kita menyusun beberapa imajinasi sosiologi kolonialnya.Â
Pertama, Jalan Roda adalah ruang jumpa dari mereka yang datang dengan mengendarai semacam pedati atau roda dalam sebutan orang Manado yang bertenaga kuda atau sapi. Yang sama pentingnya dari perkembangan teknologi transportasi zaman itu, dan terus terjaga hingga hari ini adalah perkara berikut.
Mereka yang berjumpa mewakili entitas kemajemukan lintas etnik. Perjumpaan ini difasilitasi oleh hubungan-hubungan "yang lebih urbanis", seperti perdagangan atau pertukaran komoditas, bukan oleh hubungan agraris, semacam kekerabatan.
Kedua, Jalan Roda sebagai terminal dari roda-roda berada di jantung Manado saat itu. Posisinya yang menjadi bagian dari Pasar Minahasa (sekarang adalah Shopping Centre) adalah denyut dari ekonomi kolonial yang masih sederhana.Â
Fungsinya yang menggerakkan ekonomi skala kecil (UMKM) masih terjaga sampai sekarang.Imajinasi ini penting diperhatikan mengingat Manado hari ini adalah representasi dari kapitalisasi ruang pesisir (teluk Manado).Â
Proses besar dan cepat ini dikendalikan oleh modal besar yang memfasilitasi pembangunan pusat belanja, konsumsi dan kesenangan modern, seperti mall, bioskop, restoran hingga kafe. Kekuatan ini membuat kota-kota tumbuh dalam keseragaman yang massif.
Di kawasan padat modal ini, kita akan menemukan Starbucks, Pizza Hut, Burger King, hingga Mcdonald, pemandangan yang belum ditemukan di sekitaran tahun 2000-an awal.Â
Ketiga, Jalan Roda adalah produksi ruang kota kolonial yang sekilas memiliki sejarah Jalan Braga di Bandung, sebab itu bisa disebut sebagai "Pedatiweg".
 Akan tetapi, dia tidak pernah berkembang sebagai pusat pertokoan bagi kaum elite Eropa di Hindia Belanda zaman itu. Sampai hari ini, Jalan Roda bukanlah kawasan (bagi) elite perkotaan modern.Â
Untuk itulah, yang mengesankan dari sejarah jalan ini adalah ia tetap bertahan sebagai ruang yang riuh dan setia bagi segala macam strata sosial, utamanya strata menengah ke bawah. Serupa mereka yang berseragam ASN, karyawan toko, dan agen asuransi. Â
Juga politisi yang gagal dan golongan terdidik yang mengeja mulutnya dengan gagasan-gagasan berat dari bangku kuliah. Termasuk penikmat catur amatiran, aktivis ormas, dan sederet artis yang masih belum masuk dapur rekaman.
Mereka datang untuk segelas kopi yang murah, kudapan seperti kukis lalampa, pisang goroho dan dabu-dabu tarasi, atau kukis betawi; datang untuk menjaga "kelokalannya".Â
Betah duduk berjam-jam, membicarakan apa saja, seringkali dilengkapi kepulan asap rokok bertubi-tubi.Â
Dan, lihatlah jika di sini. Inilah ruang (bagi) publik dalam artiannya yang fisik maupun politis: ia menampung bermacam manusia, memberi ruang bagi percakapan tentang kota yang mulai dimakan kemacetan, sampah yang bertumpuk, hingga kriminalitas. Â
Kita bisa dengan leluasa merekam gosip-gosip terkini kekuasaan (dan perselingkuhannya) yang acapkali abai ditangkap media massa lokal. Juga mengikuti keresahan-keresahan dari denyut hidup informalitas yang bertumpu sehari-hari dari pergerakan manusia di sekitar Pasar 45.Â
Di Jalan Roda, kita menemukan nasib kita yang berbeda pelakon.
Ketika berkunjung ke Jalan Braga dan menyaksikan bagaimana ia berkembang sebagai salah satu destinasi kunci dari wisata sejarah, konsumsi, dan romantisme anak muda yang dijual oleh Bandung (saya menuliskannya di Pikiran-pikiran yang Bekerja di Sepanjang Jalan Braga), Jalan Roda di Manado masihlah warisan jejak kolonial yang dikendalikan jelata.Â
Dia pernah terbakar, pernah ingin dibongkar, tapi Jalan Roda tidak pernah kemana-mana. Ia tidak mengatribusi dirinya dengan ornamen-ornamen kekinian dari "perburuan nikmat lebih" berbiaya tinggi.
Dia tetaplah sebuah tempat, di antara ketegangan-ketegangan perebutan kuasa ekonomi dan politik perkotaan, yang tetap menampung saya dan kamu; kita adalah golongan dengan kesulitan mengeja atau membayar daftar menu di Starbucks.
Jadi, ketika Pilpres nanti selesai, reproduksi elite politik dimulai, Jalan Roda adalah sebuah tempat dimana kekuasaan seringkali berusaha menyapa tapi (kita tahu) ia tidak melakukan apa-apa?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI