Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilpres dan Jalan Roda Manado

19 Januari 2024   16:02 Diperbarui: 20 Januari 2024   09:30 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siti Atikoh Suprianti, istri Capres Ganjar Pranowo berkunjung ke Manado | KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI 

Pertama, Jalan Roda adalah ruang jumpa dari mereka yang datang dengan mengendarai semacam pedati atau roda dalam sebutan orang Manado yang bertenaga kuda atau sapi. Yang sama pentingnya dari perkembangan teknologi transportasi zaman itu, dan terus terjaga hingga hari ini adalah perkara berikut.

Mereka yang berjumpa mewakili entitas kemajemukan lintas etnik. Perjumpaan ini difasilitasi oleh hubungan-hubungan "yang lebih urbanis", seperti perdagangan atau pertukaran komoditas, bukan oleh hubungan agraris, semacam kekerabatan.

Kedua, Jalan Roda sebagai terminal dari roda-roda berada di jantung Manado saat itu. Posisinya yang menjadi bagian dari Pasar Minahasa (sekarang adalah Shopping Centre) adalah denyut dari ekonomi kolonial yang masih sederhana. 

Fungsinya yang menggerakkan ekonomi skala kecil (UMKM) masih terjaga sampai sekarang.Imajinasi ini penting diperhatikan mengingat Manado hari ini adalah representasi dari kapitalisasi ruang pesisir (teluk Manado). 

Proses besar dan cepat ini dikendalikan oleh modal besar yang memfasilitasi pembangunan pusat belanja, konsumsi dan kesenangan modern, seperti mall, bioskop, restoran hingga kafe. Kekuatan ini membuat kota-kota tumbuh dalam keseragaman yang massif.

Di kawasan padat modal ini, kita akan menemukan Starbucks, Pizza Hut, Burger King, hingga Mcdonald, pemandangan yang belum ditemukan di sekitaran tahun 2000-an awal. 

Ketiga, Jalan Roda adalah produksi ruang kota kolonial yang sekilas memiliki sejarah Jalan Braga di Bandung, sebab itu bisa disebut sebagai "Pedatiweg".

 Akan tetapi, dia tidak pernah berkembang sebagai pusat pertokoan bagi kaum elite Eropa di Hindia Belanda zaman itu. Sampai hari ini, Jalan Roda bukanlah kawasan (bagi) elite perkotaan modern. 

Untuk itulah, yang mengesankan dari sejarah jalan ini adalah ia tetap bertahan sebagai ruang yang riuh dan setia bagi segala macam strata sosial, utamanya strata menengah ke bawah. Serupa mereka yang berseragam ASN, karyawan toko, dan agen asuransi.  

Juga politisi yang gagal dan golongan terdidik yang mengeja mulutnya dengan gagasan-gagasan berat dari bangku kuliah. Termasuk penikmat catur amatiran, aktivis ormas, dan sederet artis yang masih belum masuk dapur rekaman.

Mereka datang untuk segelas kopi yang murah, kudapan seperti kukis lalampa, pisang goroho dan dabu-dabu tarasi, atau kukis betawi; datang untuk menjaga "kelokalannya". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun