Betah duduk berjam-jam, membicarakan apa saja, seringkali dilengkapi kepulan asap rokok bertubi-tubi.Â
Dan, lihatlah jika di sini. Inilah ruang (bagi) publik dalam artiannya yang fisik maupun politis: ia menampung bermacam manusia, memberi ruang bagi percakapan tentang kota yang mulai dimakan kemacetan, sampah yang bertumpuk, hingga kriminalitas. Â
Kita bisa dengan leluasa merekam gosip-gosip terkini kekuasaan (dan perselingkuhannya) yang acapkali abai ditangkap media massa lokal. Juga mengikuti keresahan-keresahan dari denyut hidup informalitas yang bertumpu sehari-hari dari pergerakan manusia di sekitar Pasar 45.Â
Di Jalan Roda, kita menemukan nasib kita yang berbeda pelakon.
Ketika berkunjung ke Jalan Braga dan menyaksikan bagaimana ia berkembang sebagai salah satu destinasi kunci dari wisata sejarah, konsumsi, dan romantisme anak muda yang dijual oleh Bandung (saya menuliskannya di Pikiran-pikiran yang Bekerja di Sepanjang Jalan Braga), Jalan Roda di Manado masihlah warisan jejak kolonial yang dikendalikan jelata.Â
Dia pernah terbakar, pernah ingin dibongkar, tapi Jalan Roda tidak pernah kemana-mana. Ia tidak mengatribusi dirinya dengan ornamen-ornamen kekinian dari "perburuan nikmat lebih" berbiaya tinggi.
Dia tetaplah sebuah tempat, di antara ketegangan-ketegangan perebutan kuasa ekonomi dan politik perkotaan, yang tetap menampung saya dan kamu; kita adalah golongan dengan kesulitan mengeja atau membayar daftar menu di Starbucks.
Jadi, ketika Pilpres nanti selesai, reproduksi elite politik dimulai, Jalan Roda adalah sebuah tempat dimana kekuasaan seringkali berusaha menyapa tapi (kita tahu) ia tidak melakukan apa-apa?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI