- Kehidupan George Adijtondro adalah kehidupan seorang advokat, aktivis keadilan sosial, demokrasi dan kebebasan yang sangat berbakti, tidak hanya bagi rakyat Timor-Leste, tapi merata bagi seluruh rakyat Indonesia, Aceh dan Papua Barat - Jose Manuel Ramos-Horta
Di permulaan November kemarin, saya jalan-jalan ke Gramedia di Bandung. Jalan-jalan ini semata diniatkan mengusir kejenuhan sembari menyegarkan informasi perihal buku-buku terbaru yang ada di Gramedia.
Lantas di sebuah rak, saya melihat buku berjudul Meniti Jalan Berduri: Mengenang George Junus Aditjondro. Buku yang tidak tebal ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Buku ini berisi kumpulan tulisan dari murid, sahabat dan kolega Pak George, begitu saya memanggilnya. Dan dieditori oleh tiga orang: Stanley Adi Prasetyo, Aderito de Jesus Suarez, dan Basilus Triharyanto.Â
Secara umum, buku ini terbagi dalam empat bagian besar. Bagian pertama, Riset dan Investigasi: Mengawasi Kekuasaan (halaman 1 -57), yang terdiri dari 5 tulisan. Bagian kedua, Timor-Leste dan Perjuangan Penentuan Nasib (halaman 65-112), yang terdiri dari 4 tulisan.Â
Bagian ketiga, bertajuk Papua dan Hak Asasi Manusia (halaman 121-258) yang berisi 4 tulisan. Dan bagian keempat, Aktivisme dan Gerakan Sosial (halaman 167-211). Dan terakhir, Epilog berjudul George Junus Aditjondro, Sahabat Pejuang (halaman 216), yang ditulis Jose Manuel Ramos Horta.Â
Dari susunannya, kita bisa melihat sekilas jika buku tersebut akan menampilkan sekilas posisi dan kontribusi intelektual dari seorang George Junus Aditjondro.Â
Bukan saja sumbangsihnya untuk investigasi terhadap korupsi berlapis, teori sosial kritis yang membela masyarakat adat dan kaum pinggiran, dan sikap politiknya terhadap kemerdekaan dan kemanusiaan. Namun juga, kita bisa membaca jejak warisan intelektualnya yang membentuk jaringan kerja gerakan sosial yang terus bertahan hingga hari ini.Â
Sebagaimana yang dilakukan di Tanah Papua, tempat dimana sejak tahun 1980-an, Pak George sudah melibatkan diri dalam kritik terhadap pembangunan gaya Orde Baru dan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat lokal (adat).
Amiruddin al Rahab, dalam tulisan berjudul Jejak Pemikiran George Junus Aditjondro Tentang Papua (hal 135-151) mengatakan:
GJA memulai jejak langkahnya di Papua sebagai peneliti di The Irian Jaya Development and Information Service (Irja Disc) pada tahun 1982. Irja Disc menerbitkan buletin Berita Pembangunan Desa yang menguak kondisi dan situasi desa-desa di Papua. Kritikan atas strategi pembangunan desa disampaikan secara gamblang dan keras dalam tiap buletin itu terbit. LSM ini kemudian berubah nama menjadi Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa (YPMD).Â
Konsistensi yang sama juga direfleksikan Arianto Sangadji, bagaimana jejak inetlektual Pak George di Sulawesi Tengah, dalam tulisan berjudul George Junus Aditjondro dan Gerakan Sosial di Sulawesi Tengah (hal 194-210). Kata Arianto Sangadji, minat paling utamanya di daerah ini adalah kepentingan bisnis dan sengekta berbasis sumberdaya alam, kekerasan bersenjata dan hubungan antar keduanya.Â
Dan, yang sama pentingnya, adalah keterlibatan intelektualnya dalam perjuangan penentuan nasib sendiri Timor-Leste. Seperti tergambarkan pada tulisan yang berjudul Meniti Jalan Berduri: George Aditjondro dan Kampanye Timor-Leste (80-98), yang disumbangkan Aderito de Jesus Suarez.Â
Sebagai wartawan muda majalah Tempo, Pak George pernah meliputi keadaan Timor-Portugis di tahun 1974. Sejak saat ini, beliau mulai terhubung dengan beberapa tokoh penting pembebasan Timor-Leste, seperti Ramos-Horta. Aderito de Jesus Suarez mengatakan:Â
..Setelah kepulangannya dari Universitas Cornell, GJA secara terbuka mengkiritik pendudukan ilegal Indonesia atas Timor-Leste. Kritik terbuka itu juga didukung melalui penelitian yang mendalam soal Timor-Leste.GJA pernah menyampaikan dua makalah pada forum diskusi terbatas yang cukup menghebohkan dan membuat penguasa kampus UKSW saat itu mulai was-was dengan kampanye GJA.
Dari tulisan Aderito de Jesus Suarez, kita bisa melihat keterlibatan Pak George dalam jaringan gerakan klandenstein penentuan nasib sendiri Timor-Leste. Keberanian dan komitmen terhadap gerakan ini membuatnya dipanggil dengan "Railakan" yang bermakna "halilintar".
Bagi saya, Buku Meniti Jalan Berduri: Mengenang George Junus Aditjondro dapat membantu generasi aktivisme hari ini mengenali salah satu sosok yang tetap gigih dengan jalan intelektual organik yang dipilihnya.Â
Tentu saja, ia bukanlah kisah pribadi yang sempurna. Namun tidak diragukan lagi jika pengabdiannya bagi perjuangan demokrasi, keadilan dan hak-hak asasi manusia adalah jejak hidup dari segelintir intelektual di negeri ini.
Walau begitu, buku ini hanyalah sedikit rangkuman kesaksian dari mereka yang pernah terlibat langsung dalam kerja-kerja intelektual dan gerakan sosial dengan Pak George. Dengan minatnya yang luas serta wilayah jelajahnya yang tinggi, bisa dipastikan ada banyak sekali orang yang pernah terhubung dan memiliki kesaksian atas perjumpaan tersebut.
Termasuk saya, walau tidak lantas berarti kesaksian saya atas perjumpaan tersebut sepadan arti pentingnya dengan sosok seperti Ariel Heryanto (George Junus Aditjondro: Aktivis Tanpa Kompromi) atau Andreas Harsono (Belajar Radikalisme dari George J. Aditjondro) yang turut menyumbang tulisan bagi Meniti Jalan Berduri.
Jadi, saya akan berbagi kenangan akan perjumpaan dengan Pak George di bagian selanjutnya.
***
Perjumpaan Pertama dengan GJA. Di antara jalan raya Tondano dan Tomohon, udara malam itu terasa gigil sekali.Â
Rombongan kami yang berjumlah sekitar enam orang akhirnya memutuskan singgah di salah satu rumah makan sederhana yang menjual makanan khas Minahasa. Jarak ke Manado masih sekitar 30-an kilometer lagi dan kebanyakan dari kami merasa lapar, termasuk tamu yang sangat penting malam itu, Pak George Junus Aditjondro (GJA).
Pak George tengah berada di Sulawesi Utara karena undangan dari kawan-kawan aktivis pemuda di Minahasa. Di samping itu, beliau juga menyediakan diri mengisi diskusi di beberapa tempat. Untuk yang satu ini--berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa--beliau selalu memiliki energi yang lebih.
Di rumah makan itu, kami duduk dengan posisi berhadapan. Saya berhadapan dengan Pak George, sambil menahan gigil. Saya hanya menggunakan kaos tipis, celana panjang, dan masih merokok.Â
"Aji, kamu kayaknya sudah tidak bisa masuk angin, ya?"
Tiba-tiba Pak George bertanya begitu. Saya sempat bingung. Sejujurnya, saya juga sangat lapar. Perut terasa kosong, bukankah itu lebih mudah "masuk angin"? Tapi, saya terkekeh. Saya sudah menduga jawabnya.
"Kamu tahu kenapa?"
"Hehehe. Iya, Pak. Saya sudah terlalu kurus, hanya tersisa tulang. Angin sudah tidak memiliki tempat untuk masuk."
Pak George tertawa. Lalu berkata, "Kamu pakai saja rompi ini." Katanya sambil membuka rompi yang miliknya. Badan Pak George saat itu sudah cukup tambun dengan bawuk tipis yang memenuhi dua rahangnya. Gaya beliau memang Bohemian.
Alhamdulillah, rompi milik intelektual yang sepanjang hayatnya mendedikasikan dirinya untuk suara kritis dan gerakan sosial ini menyelamatkan saya dari gigil yang mengenaskan. Senang sekali, seolah seorang murid yang baru diberikan ijazah oleh gurunya.
Saya masihlah seorang mahasiswa Sospol dari Jayapura, Papua yang menuju angkatan tua bangka di Universitas Sam Ratulangi. Juga belum terlalu tahu biografi intelektual seorang GJA, baru sempat membaca beberapa makalahnya. Khususnya yang membongkar jejaring korupsi Soeharto, bisnis militer dan jejaring aktor di balik kerusuhan di Ambon.
Investigasi Pak George membuka cakrawala yang lebih kritis dan sangat penting bagi angkatan mahasiswa yang baru memasuki perguruan tinggi sesudah Soeharto jatuh. Paling kurang, ia mengajukan jawaban dari pertanyaan mengapa rezim yang ditopang oleh kapitalisme negara (state-capitalism) ini bisa bertahan sedemikian lama dan mengapa ia seharusnya dilawan.
Perjumpaan Kedua. Dua tahun kemudian, saya berkomunikasi dengan Pak George dengan frekuensi yang cukup intens.Â
Penyebabnya adalah putusan pengadilan yang memutus bersalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu dalam kasus kerusuhan Poso di Sulawesi Tengah yang terjadi pada pertengahan tahun 2000 dan menewaskan sedikitnya 200 orang. Baca: "Kontroversi Eksekusi Mati Trio Kerusuhan Poso", Tirto, 25/09/2017).Â
Kasus ini menimbulkan reaksi beragam di mana-mana, tak sebatas di Sulawesi Tengah. Saya sendiri, dengan dibantu kawan-kawan yang mengadvokasi kasus Poso, pernah berjumpa dan berbicara dengan tiga terdakwa ini ketika masih ditahan di Palu, Sulawesi Tengah.
Di Manado, bersama jaringan aktivis lintas iman dan tokoh-tokoh agama, kami menggalang doa bersama dan aksi protes yang meminta negara tidak terburu-buru melakukan eksekusi mati terhadap tiga orang desa yang sederhana namun dituduh sebagai dalang.
Di masa-masa ini, Pak George beberapa kali berkomunikasi dan mengirimkan makalahnya via email dan meminta kami mendiskusikannya. Setidaknya, dua makalah dengan judul yang menohok yang dikirimkan khusus membahas kasus Tibo, dkk.Â
Pertama, yang berjudul: 'NINJA FLORES' ATAU 'NINJA JAKARTA' YANG SERANG PESANTREN WALISONGO, MEI 2000? Membongkar Operasi Intelijen Pemicu Eskalasi Konflik Komunal di Poso Menjadi Konflik Nasional.Â
Yang kedua, TIBO & PENYERANGAN PESANTREN WALISONGO JILID II: Mengungkap Kepentingan "Tritunggal" Modal, Militer, dan Milisi di balik Pengawetan Ketidakamanan di Sulawesi Tengah.
Dua kajian di atas adalah peringatan Pak George terhadap kesalahan berpikir yang melihat kerusuhan di Poso (dan peristiwa sejenis di tempat lain) sebagai bentuk pertikaian antar umat berbeda agama. Ada kekuatan dan kepentingan lebih besar yang mengail di air keruh dan semestinya diwaspadai.
Perjumpaan Terakhir. Sesudah tahun 2006, saya berkesempatan bertemu beliau di Yogyakarta di sekitaran 2008.Â
Sebuah pertemuan yang santai di kamarnya yang sesak dengan rak penuh buku. Pertemuan ini menampilkan sisi lain dari Pak George sebagai intelektual cum aktivis yang sangat dihormati oleh jaringan gerakan sosial dan Civil Society Organization (CSO) di Indonesia.Â
Di malam ini, saya melihat Pak George meminum beberapa ramuan herbal untuk mengobati asam urat dan jantungnya. Selain itu, Pak George juga ke kamar mandi, membersihkan diri, kemudian khusyuk dalam permenungan malam. Di tangannya ada Alkitab dan di lehernya bergantung kalung Rosario.Â
Setelah ini, saya tidak lagi terhubung dengan beliau. Hingga mendapati kabar di tanggal 10 Desember 2016, beliau wafat di Palu, Sulawesi Tengah dalam usia 70 tahun. Saya bersedih, mengirim doa, dan merasa kehilangan.
Dan yang lebih penting adalah bersyukur pernah bertemu secara langsung, membaca pikiran-pikiran dan berdiskusi dengan beliau.
Terima kasih tak terhingga, Pak George. Selamat beristirahat. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H