Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menargetkan pada Pemilu 2024 akan meraup suara di kisaran 6-7%.Â
Angka ini jika dikalikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) nasional di Pemilu 2024 yang sebesar 204.807.222 pemilih, kader-kader PSI wajib bekerja keras untuk mendulang sekitar 12 juta suara sah. Jumlah sebanyak ini bakalan menjadikan mereka sejajar dengan perolehan suara Demokrat dan PAN di Pemilu 2019.Â
Di pemilu yang dimenangkan pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin sebagai pasangan presiden dan wakil presiden ini, Demokrat meraup 10.876.507 suara (7,77%), sedangkan PAN sebanyak 9.572.623 suara (6,84%).
Pendek kata, PSI ini akan menjadi bagian dari kelompok menengah. Kalau di sepakbola sekasta dengan middle income trap-table team, selevel AS Roma di Italia dan, sekarang ini Manchester United di Inggris, eh.Â
Sebagai golongan bau kencur, target menembus pemain level menengah bukan main-main.Â
Demokrat memiliki mantan presiden dua periode dengan megaproyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang kagak jadi ape-ape beserta politisi dan militer senior. Demikian juga Partai Amanat Nasional yang memiliki politisi senior dan segelintir artis.Â
Lah, PSI? Kecuali Grace Natalie, dkk. ini memang sekadar bermain yang bukan-bukan.Â
Memang berdasarkan penetapan Komisi Pemilihan Umumt (Tempo), jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa alias sekitar 52% dari komposisi DPT nasional untuk pemilu nanti.Â
Karena itu, sebagai partai yang konon mewakili aspirasi anak-anak muda, mereka memiliki kans yang besar berharap limpahan berkah dari istana? Eh,tidak begitu juga cara bertanyanya, Socrates.Â
Dan, wahai netijen budiman negeri ber-flower, drama "mendadak ketua umum" ini tidak perlu ditanggapi dengan sinisme berketurunan.Â
Jelas adanya, bagi penglihatan milenial di ujung jalan tak ada aspal semisal saya ini, mendapuk Kaesang Pangarep sebagai pemimpin paska-Giring adalah opsi yang paling masuk akal membagongkan (atau paling jalan buntu?).Â
Why Giring, why? Sudah lupa bahwa:
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
(Laskar Pelangi)
Apakah saudara-saudari PSI yang kabarnya muda usia dan berjiwa gegap gempita sekalian sudah lelah? Sejauh mana Anda semua sudah berlari? Berlari ke mana wong Anda tidak pernah jauh-jauh dari telunjuk istana?
Baru juga 25 tahun sejak pemilu pertama Reformasi, saudara-saudari darah muda seperti lupa bahwa partai-partai produk Orde Baru memiliki dua kegagalan fundamental yang tidak juga diperbaiki di masa ini.
Pertama, gagal kaderisasi. Barang yang satu ini sudah terlalu sering dibicarakan.Â
Di jantung kepemimpinan partai-partai ini, ruang perebutan hanyalah milik mereka yang kuat. Jika sebagaian dari yang kuat ini kalah, mereka akan membuat partai baru di mana mereka menjadi satu-satunya.Â
Kekuasaan di negara demokratis selalu mensyaratkan sukses tapi partai-partai ini bahkan tak mampu melahirkan alternatif selain orang-orang kuat tajir melintir superambisius ini.Â
Bagaimana mungkin terhadap nasib republik--lalu, kamu masih percaya adanya separasi golongan oposisi versus status quo di negeri ini?Â
Kedua, representasi sosial yang otentik.Â
Ini artinya mereka menjadikan partai sebagai alat perjuangan politik rakyat Indonesia. Mereka bekerja di akar rumput hingga golongan menengah, mengerjakan ideologisasi, merumuskan cita-cita dan rencana perjuangan dari hidup sehari-hari yang diakrabi.Â
Tidak ngadi-ngadi, mati akal, dan berharap kepada penerawangan dukun.Â
Representasi yang otentik jelas adalah perkara yang hakiki bagi partai-partai politik. Secara fungsional, ada banyak sayap partai, karena itu semestinya tersedia banyak kemungkinan memproduksi pemimpin dari generasi baru.Â
Tapi ternyata ini tidak banyak gunanya, selain birokratisme yang absurd.Â
Bayangkan saja jika representasi politik yang otentik ini terbangun. Berpolitik tidak perlu dengan kampanye buang-buang waktu, berbiaya mahal untuk mencari-cari suara. Setiap sayap yang mengakar memiliki basis massanya sendiri-sendiri.
Jadi, di tengah produksi berulang kegagalan berpartai itu, Bro dan Sis di PSI, apa yang Anda kejar dengan mendapuk Kaesang sebagai nahkoda tertinggi kalian? Jalan pintas macam apa yang sedang Anda uji?
Satu perkara lagi. Tolong tetap sabar dan menginjak bumi.Â
Pernah ada dalam sejarah negeri ini, di penggalan waktu yang tak jauh-jauh amat, terdapat anak-anak muda yang mendirikan partai. Anak-anak muda ini adalah kumpulan yang dilambangkan sebagai bunga dalam puisi Wiji Thukul berjudul "Bunga dan Tembok".
Seumpama bunga,
kami adalah bunga
yang tak kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka
membangun rumah dan merampas tanah.
Agenda perjuangan dibentuk oleh masa melawan rust en orde sesudah generasi protes 45, 66, dan 80-an. Ideologi mereka diuji oleh kediktatoran militer yang bengis dengan obsesi pembangunanisme yang tidak boleh dikoreksi.Â
Dan akhirnya mereka tercerai-berai pula. Beberapa darinya memilih bergabung dengan partai-partai zaman Reformasi dengan watak dasar yang begitu-begitu saja.
Sementara kalian, Bro dan Sis PSI yang budiman, kediktatoran macam apa yang kalian lawan sehingga cepat-cepat merapat jantung kekuasaan?Â
Epos kepemudaan macam apa yang kalian ingin wariskan jika keberanian menciptakan alternatif terhadap politik yang membosankan ini kalian sembelih dengan bergotong-royong? Mohon maaf, kalian menggunakan mazhab apa ya?
Kalaupun Bro dan Sis PSI tidak lagi memiliki kepercayaan bahwa ideologi adalah perkara pokok dalam perjuangan politik, lantas "kesegaran" macam apa yang bisa ditandingkan kepada pengikut aliran lampau di partai-partai mapan dan keras kepala itu?
Saya memang tidak sungguh penasaran dengan jawabannya, sama tidak pedulinya dengan siklus pemilu, tapi itu tidak lantas berarti tidak boleh bertanya bukan?
Hanya rasa-rasanya, drama "mendadak ketua umum" ini marak sekali terjadi di daerah. Terutama ketika sebuah dinasti sedang dibentuk, sedang menuju sentralisasi baru, sang putra mahkota tiba-tiba saja menjadi figur penting.Â
Mendadak terpilih sebagai ketua di organisasi apa saja yang bisa diketuainya. Hampir semua baliho yang berkibar-kibar di kota-kota utama daerah tersebut akan menjadi barang haram jika tidak memuat foto dirinya.Â
Sosok anak muda ini dipaksa-paksa untuk terlihat patut, pantas, layak dan semua memiliki hak yang sama dalam politik, mengapa tidak boleh? Ngana ganu? Talang bom jo!
Kesimpulannya cuma satu. Jelas dan terang: Begitulah politik, peristiwanya tidak mengubah apa-apa, tapi tetap saja diberitakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H