Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Fleksibilitas Skema Ganda dalam Satu Argentina

14 Desember 2022   06:59 Diperbarui: 14 Desember 2022   08:55 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Argentina memenangkan laga semifinal  Piala Dunia Qatar Vs. Kroasia dengan meyakinkan| FotoL AFP/ADRIAN DENNIS via Kompas.com

Menghajar Kroasia tiga gol tanpa balas adalah sebuah revans. 

Modric, dkk pernah melakukan hal yang sama kepada Messi, dkk di tahun 2018, ketika berjuang lolos dari Grup D. Skornya juga sama, Argentina terlihat semenjana. Tapi, Qatar 2022 bukanlah panggung bagi sejarah yang berulang.  

Di luar itu, kita wajib meletakan rispek yang tinggi bagi finalis piala dunia Rusia 2018 ini. Kroasia sesungguhnya tampil dengan kolektivitas yang baik sepanjang turnamen. Cara mereka menyingkirkan Brasil sesudah tertinggal lebih dahulu adalah satu pembuktiannya. Kolektivitas yang teruji membuat mereka tidak kehilangan ketenangan dan efektifitas.

Selebihnya, catatan ke sekian ini memang hanya akan melihat bagaimana Argentina berkembang sejauh ini. 

Sebelumnya, agar pembaca yang budiman tidak kehilangan konteks, ada baiknya membaca serangkaian fragmen yang sudah ditulis mengikuti perjalanan Messi dan kawan-kawan sepanjang piala dunia edisi 2022. 

Pembaca sekalian bisa memulainya dari Cara Argentina (27 November), Rahasia Argentina (1 Desember), Meredam Belanda (4 Desember), dan  Yang Kita Baca dari Argentina (10 Desember).

Saya kira kita semua yang mengikuti Argentina mengakui bahwa pergulatan menghentikan Belanda adalah transisi kedua, sesudah paska-Arab Saudi. Ini tidak lantas berarti bahwa pertandingan yang lain tidak memberi kontribusi terhadap proses menuju kematangan Messi, dkk. 

Pada transisi yang pertama, Argentina menemukan solusi dari kesalahan dalam sepakbola menyerang; jenis sepakbola yang memulangkan Spanyol. Kesalahan itu adalah dominasi tanpa eksekusi. Disempurnakan panic attack ketika dihajar counter-attack. 

Pada intinya, sesudah arab Saudi, Scaloni berhasil membuat Argentina menampilkan sisi mereka yang dominan dan berhasil. Seperti saat menghentikan Polandia dan Australia. 

Akan tetapi, ketika menghadapi Belanda yang lebih pragmatis, mereka bermain dengan masa lalu yang menghantui. Cara bermain yang mengawetkan kecemasan dan seolah-olah mengulang kutukan. 

Yang saya maksudkan adalah drama pembalikan skor yang sukses dilakukan taktik Van Gaal hingga memaksakan adu penalti adalah pengungkapan terhadap penyakit laten Albiceleste. 

Argentina di fase segenting Belanda masih saja berjibaku dengan mentalitas yang sama. Gagal mengelola keunggulan. 

Maka ketika bersua Kroasia, pertanyaan yang segera mengemuka adalah apakah tim ini tetap mampu menciptakan gol namun berujung adu penalti lagi. Dan itu sama mengatakan antiklimaks atau dalam bahasa yang sederhana, menggugurkan tesis-tesis saya (yang "realistis") sejauh ini?

MEMBACA PERMAINAN. Meladeni Kroasia, kesalahan menghadapi Belanda tidak lagi tercipta. Kroasia memiliki poros Modric+Kovacic yang sangat dinamis di tengah. Tapi juga serangan di sisi sayap masihlah senjata yang efektif. 

Sebab itu, Argentina lebih baik jangan dominan, apalagi gagal solid bertahan. Scaloni tentu saja lebih paham dari kita semua dalam perkara ini.

Fakta tidak menjadi dominan melawan Kroasia dibuktikan dari rangkuman statistik post-macth. Messi, dkk hanya menciptakan penguasaan bola sebesar 39%. Opsi ini tidak kita temukan ketika mereka melawan Saudi, Polandia, dan Australia. Di tiga laga ini, Argentina menguasai bola hingga 70 persen. Memang sedikit berbeda kala melawan Mexio dan Belanda, dimana ball possession-nya relatif fifty-fifty. 

Terus apa yang bergeser saat ditantang Kroasia? 

Kita disajikan Argentina yang semakin efektif dan jauh lebih solid. Argentina yang terampil meniru "Italia".

Scaloni memilih memasang Paredes sejak awal sebagai jangkar, menemani Fernandez, De Paul dan Mac Allister. De Paul juga tidak se-mobile biasanya. Fernandez yang biasanya menjadi "kontroler" terlihat tidak menonjol.

Maka yang segera terlihat adalah pertarungan memenangkan lini tengah. Selain itu, Argentina menguji efektivitas dengan model serangan yang cenderung direct; sangat jarang dari dua sisi sayap. 

Satu lagi determinan yang harus diberi hormat adalah makin ngerinya kombinasi Messi dan Alvarez; duet yang baru ditemukan paska-Saudi. Tiga gol kali ini adalah buah dari kerja keduanya.

Dimulai pergerakan cepat Alvarez dengan body balance yang baik itu menstimulasi kekacauan kecil dan berujung penalti. Messi tentu saja tahu dia tidak boleh lagi gagal karena bisa seketika menjadi antiklimaks. Di momen ini, kematangan mental seorang kapten tim adalah segalanya. 

Disusul satu skema counter attack yang dilakoni Alvarez. Lagi-lagi membuat bek gaek Dejan Lovren keteteran. Dan, sisanya yang menghalau laju penyerang muda Man City itu keteteran. Kroasia masih tetap kalem, enggan terburu-buru. 

Kesulitannya, sejak drama melelahkan versus Belanda, Argentina tidak lagi mengulang kesalahan yang simetris. 

Paruh kedua, reaksi cepat yang dilakukan Zlatko Dalic adalah mengambilalih kendali serangan. Tiga nama yang dimasukan di menit ke 46, yaitu Mislav Orsic, Nikola Vlasic dan di susul Bruno Petkovic (50). Semuanya berwatak menyerang. 

Scaloni merespon perubahan ini menarik Paredes, memasukan Lisandro Martinez.

Kroasia masih tidak menciptakan satupun ancaman berarti. Sepanjang laga, mereka hanya bisa bikin 2 shots on target dari 12 kali percobaan. Sayang, petaka yang mengakhiri semua usaha membalikkan keadaan akhirnya datang di menit 69. 

Petaka gol ketiga yang menunjukan kepada semua orang pemuja Ronaldo di muka bumi bahwa Messi adalah satu-satunya sentralisme tanpa banding di turnamen ini.

Gol dari duel satu lawan satu dengan Josko Gvardiol adalah salah satu pertunjukan yang akan terus dikenang dari edisi Qatar 2022. 

Ingatlah bahwa Josko Gvardiol baru berusia 20 tahun, namun sangat tenang, kokoh dan disebut-sebut tengah diincar klub-klub raksana Eropa. Anak muda ini terlihat tanpa daya menghentikan Messi(ah) yang tetap lincah, tetap menolak mundur. 

Kemenangan duel yang disempurnakan Alvarez. Positioning-nya yang tepat berhasil mengeksekusi. Skor kini 3:0. Ambisi melakukan revans dipenuhi, dan Messi terus membuat rekor baru. Gol ketiga seperti ini adalah "pembunuh permainan".

Tapi masih tersisa 20-an menit, sementara sepakbola adalah seni melawan ketidakmungkinan (attacking the impossible) bukan?

Dan Scaloni memilih untuk tidak gegabah lagi. Ia menyegarkan lapangan tengah dengan memainkan Dybala--akhirnya tampil juga, ciee-- dan Palacios. Lalu ditutup dengan memainkan Correa dan Foyth. 

Argentina memang dikepung tapi tidak mengalami ancaman serius. Argentina melampaui ketegangan semifinal dengan cara yang meyakinkan. Tak ada lagi kontroversi.

DAMPAK. Demikianlah Argentina paska-Belanda yang kini lebih solid. Messi, dkk tegas membuktikan bahwa mereka adalah sebaik-baiknya wakil Amerika Latin yang berhak ada di partai pamungkas. Stadion Lusail dan hampir 90 ribu penonton adalah saksi di pinggir lapangan.

Argentina menunjukan jika mereka memiliki skema ganda dalam dirinya. Di satu momentum, ia menyerupai Spanyol, ketika mereka bermain dengan penguasaan bola yang dominan, namun bisa menyerupai Italia, dengan efektivitas serta serangan balik mematikan.

Protes-protes berbau konspirasi yang disemburkan beberapa pemain Portugal karena kecewa terhadap kepemimpinan wasit asal Argentina adalah omong kosong orang-orang kalah belaka. Seolah-olah itu pangkal masalah dibandingkan membicarakan mengapa mereka tak banyak berguna melawan Maroko. 

Seolah-olah Argentina tidak terluka dengan pengadil bernama Antonio Miguel Mateu Laoz. Whoscored mencatat jika wasit produk La Liga ini sudah mengeluarkan 23 kartu kuning dari tiga kali menjadi pengadil di di ajang Piala Dunia. Sebab itu masalahnya tidak di sini.

Melampaui semua drama-drama itu, kita bisa bersepakat bahwa Qatar 202 adalah panggung bagi Argentina yang semakin dekat dengan kematangan terbaiknya. 

Selaras dengan gerak "becoming" ini, Messi adalah sentralisme tanpa tanding. Bapak 35 tahun ini bukan cuma tidak pernah dicadangkan! Melengkapi ini, kita harus mengakui kepemimpinan Otamendi di baris belakang yang nyaris tanpa cacat. 

Serta Emiliano Martinez, kiper Aston Villa, yang semakin percaya diri dengan kesalahan yang makin minimalis. Saya memang sekadar menyebut tiga nama yang tak tergantikan sejauh ini. 

Afirmasi lain terhadap gerak positif ini adalah kematangan bakat-bakat muda Enzo Fernandez, Alexis Mac Allister serta Julian Alvarez. Mereka berhasil melakoni fungsi dengan konstruktif. Memaksa senior Di Maria, Papu Gomez dan Lautaro Martinez betah di bench.

Jadi, sekali lagi, tidak usah grasa-grusu bikin prediksi. 

Kita nantikan saja apakah "Rocky Balboa dari Atlas" yang akan menghadapi Argentina atau pada perhelatan final nanti, kita bakalan disajikan duel sesama penyerang klub liga kelas dua di dunia, Paris Saint Germain.

Sejauh ini, Argentina adalah gerak sistem ganda yang menunggu pengujian terakhir sebelum mencapai status yang absolut dari batas-batas relatif kemenjadian.  

Vamos, Argentina!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun