"Bang, kalau keladi tumbuk, gimana? Pernah makan?"
Liza masih berdiri di sana. Dengan tawaran yang dilengkapi senyuman ramah. "Keladi tumbuk?"
"Pernah makan keladi to, bang?" Liza bertanya tapi seperti ingin tertawa. Seolah-olah Azel adalah seseorang dari ujung Barat yang seleranya terjebak di antara gerai fast-food atau jaringan coffee shop belaka.
"Boleh. Terima kasih Liz."
***
Azel telah menghabiskan tiga potongan putih. Sepotong sedang cakalang disaos pedas. Setengah mangkuk tumisan bunga pepaya dicampur jantung pisang. Segar, sedikit pahit dan gurih. Keringat berhamburan di atas jidat dan kumisnya yang tipis. Â
"Ini enak sekali, Liz. Belajarnya sama siapa, mama?"
"Ah, tidak. Sama kaka perempuan." Liza tersenyum. Keladi tumbuk buatannya disanjung dengan sungguh.Â
"Oh, salam kenal buat kaka-nya e. Siapa namanya?" Azel berusaha lebih ramah. Sedari tadi ia merasa sedikit kaku. Tidak diniatkan. Semata-mata karena kisah Jepang yang sempat mandeg dan deadline yang terbayang-bayang.Â
 "Sintia, bang."
"Oh, terima kasih kaka Sintia," balas Azel sambil memasukan potongan keladi, daging cakalang dan sayuran. "Keladinya direbus dulu, terus dikasih apa Liz? Enak sekali ini."