Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kopi Saset Bercampur Viagra dan Penurun Demam, Kesintingan Jenis Apa Lagi Ini?

6 Maret 2022   10:07 Diperbarui: 6 Maret 2022   10:38 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Biji Kopi | Ilustrasi: Pixabay

Sehari sebelumnya, saya telah membagikan angan-angan dengan Mahardika. Sobat kecil berumur 4 tahun yang sedang bersemangat membuat udang goreng tepungnya sendiri, membaginya dengan orang lain lalu bertanya, "Enak?" 

Angan-angan perihal menongkrongi sunyi di pinggir kebun pisang dengan kukis brudel, secangkir kopi dan kenikmatan kecil yang membantu memberi jarak pada kerutinan. Sebaiknya kalimat "memberi jarak pada kerutinan" jangan dimaknai filosofis. 

Ini semata ungkap lain dari menambahkan selera murah kedalam khusyuk khalayan. Demi menjaga sakralitasnya. 

Saya terus membayangkan besok pagi akan dimulai dengan sedikit cerah, angin sepoi-sepoi dingin, desau lirih pada batang bambu dan langit yang tiba-tiba menghitam sendu. Kemudian turun lagi gerimis, hujan deras, gerimis. 

"Besok pagi, ayah mo minum kopi. Kukisnya pake brudel."

"Enak, ayah?"

"Sedap sekali."

Lalu pagi ini, saya memulainya dengan realisasi angan-angan itu. Sebenarnya saya memiliki daftar kudapan yang berlimpah dan setiap dari disediakan deretan kios kue yang menyediakan 10 Jajanan Pasar Tradisional Manado. 

Tapi brudel terlanjur tumbuh di dalam niat. Walau kombinasinya hanya kopi sasetan dengan kalimat bujuk rayu berlebihan.

Sambil menikmati perjumpaan potongan brudel dengan pahit, saya kebayang berita kemarin. Ada heboh kecil yang menyertai kegaduhan soal minyak goreng, tahu dan tempe, hingga harga cabe yang melambung lagi. 

Heboh itu diberitakan Kompas.com. Judulnya Bahaya Kopi yang Mengandung Sildenafil dan Paracetamol Temuan BPOM.

Waduh. Ada lagi kesintingan yang bekerja dibalik perburuan keuntungan. Tak tanggung-tunggung, kesintingan itu memasukan obat pengobat demam dan penguat fungsi seksualitas. Ke dalam kopi saset yang peredarannya (baru sebatas) Bogor dan Bandung dengan menggunakan izin palsu. 

Kopi saset bermerek Kopi Cleng, Kopi Badak, dan Kopi Jantan seperti yang ditemukan BPOM sangat mungkin hanya dinikmati oleh orang-orang kecil. 

Yang nongkrong di warung indomi, di pangkalan ojek, terminal antar kota dan pinggir stasiun kereta. Orang-orang kecil yang juga bertahan menulis di Kompasiana agar hari-hari tak diisi caci maki dan kesintingan lanjutan, hehehe.

Memilih kopi sebagai produknya hanya mungkin muncul dari pikiran sinting yang mengerti benar sehari-harinya orang kecil. Tanpa bermaksud melakukan sejenis dramatisasi terhadap jelata, bayangkanlah situasi seperti ini.

Seorang bapak tengah 50-an. Sehari-hari bekerja sebagai buruh sampah di sebuah pasar yang ramai. Di tengah hari hujan dan jalan becek, tetap mesti bekerja berkeliling, memungut dan memindahkan sampah ke bak penampungan sebelum dibawa ke TPA. Bapak ini masih punya dua anak yang disekolahkan. 

Lantas di antara jam-jam mengaso, pergilah beliau ke sebuah warung. Tempatnya berutang makan dan kopi. 

Pada satu ketika, si ibu yang punya warung cerita soal merek kopi saset yang baru. Yang diminum suaminya ketika demam, lalu sembuh. 

Bukan cuma pulih, kopi saset itu juga menimbulkan efek "kembali bersemangat" seperti tahun-tahun ketika terlibat revolusi (tua amat). Berdiri atau mati! Heh.

Dan si bapak buruh sampah ini merasa harus mencoba kopi yang sama. Sudah berhari-hari badannya pegal dan kepalanya sering sakit sebab bekerja di bawah guyuran hujan. Harganya pun murah, dampaknya sudah terbukti. 

Merek bukan pemicu utama. Ketahuilah, cerita yang menyebar dari sebuah produk yang berhasil jauh lebih menular ketimbang mobilisasi iklan berbiaya mahal.

Maka minumlah beliau barang secangkir. "Jangan banyak-banyak," bisik si ibu. Sambil tersenyum genit mengenang suaminya sendiri. 

Si bapak juga tak pernah tahu jika pertemuan kopi dengan senyawa kimia dalam obat bisa memicu gejala tertentu yang lebih fatal. Seperti si ibu, yang mungkin hanya meneruskan dongeng dari penyuplai kopinya. Yang sama menyatukan pikiran mereka adalah ada orang pintar yang menemukan kopi murah dan ajaib!

Masalahnya tidak berhenti di sini, tentu. Yap, cerita kopi ajaib itu terus meluas dan menciptakan kantung konsumennya. Hingga ke dusun-dusun yang jauh. Ke pondok-pondok sepi di tengah pematang sawah.

Tegas kata: Kesintingan yang mengkombinasikan senyawa kimia ke dalam bubuk kopi telah memenangkan perburuan untung itu. Dengan sangat jitu memasukan produknya ke tengah-tengah jejaring ketidaktahuan dan kemiskinan. 

Penemuan BPOM patut diapresiasi. Bukan karena dalih melambangkan negara hadir sebab memang sudah begitu mandat konstitusinya. Tapi, mungkin yang semestinya diperhatikan, kesintingan-kesintingan seperti ini selalu mudah mereproduksi dirinya. 

Sejauh memudahkan jalan (efektif dan efisien) dalam mencapai tujuan, ia akan dipilih. Tidak bakal ambil pusing perkara nilai-nilai apalagi daftar korban-korban. 

Dus, apa bedanya kesintingan seperti ini dengan para maniak perang? Hihihi.

Karena klaim kedaulatan dari para pemimpin politik itu? Nasionalisme yang menolak tunduk? Bahwa dunia baru yang lebih adil dan setara harus ditata ulang? 

Bahwa perang ini adalah keniscayaan diambil untuk menegaskan posisi super-power yang tak disetir satu blok dalam lansekap geopolitik yang menyertai dunia paska-pandemi?

Atau membela sesuatu yang lebih tersembunyi, dingin dan keji, namun menjadi energi yang hidup di dalam seluruh pergulatan diri? Seperti ego yang selalu menemukan kepuasan dari penaklukan, penghancuran dan kepatuhan massa atas dirinya?

Ego dekaden yang terpantul dari kata-kata Erich Hartman. Seorang Jerman, salah satu pilot tempur di perang dunia ke-II yang disebut-sebut tersukses sepanjang sejarah.

Perang adalah tempat di mana yang muda saling membunuh tanpa mengenal atau membenci satu sama lain, karena keputusan orang tua yang saling mengenal dan membenci, tanpa saling membunuh.

Sejenis ego yang sinting!

Apapun itu, kesintingan yang bekerja di balik perburuan untuk barang konsumsi atau memicu perang antar negara yang memburu kontrol dan dominasi, korbannya belum berganti korban selain jelata. Tidak penting berdiri di garis pro atau kontra. Tidak penting identitasnya dibentuk dari persilangan macam-macam.

Korban yang tragedinya rentan dinormalisasi kedalam statistik.

Dan mengakhiri semua corat-coret bukan di toilet ini, saya kira kukis brudel dan kopi saset adalah pilihan sederhana mencintai kejelataan yang berdiam di kaki sebuah gunung. Yang masih sejuk dan jauh dari kesintingan-kesintingan baru.

Berharapnya sih begitu. Huhuhu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun