Heboh itu diberitakan Kompas.com. Judulnya Bahaya Kopi yang Mengandung Sildenafil dan Paracetamol Temuan BPOM.
Waduh. Ada lagi kesintingan yang bekerja dibalik perburuan keuntungan. Tak tanggung-tunggung, kesintingan itu memasukan obat pengobat demam dan penguat fungsi seksualitas. Ke dalam kopi saset yang peredarannya (baru sebatas) Bogor dan Bandung dengan menggunakan izin palsu.Â
Kopi saset bermerek Kopi Cleng, Kopi Badak, dan Kopi Jantan seperti yang ditemukan BPOM sangat mungkin hanya dinikmati oleh orang-orang kecil.Â
Yang nongkrong di warung indomi, di pangkalan ojek, terminal antar kota dan pinggir stasiun kereta. Orang-orang kecil yang juga bertahan menulis di Kompasiana agar hari-hari tak diisi caci maki dan kesintingan lanjutan, hehehe.
Memilih kopi sebagai produknya hanya mungkin muncul dari pikiran sinting yang mengerti benar sehari-harinya orang kecil. Tanpa bermaksud melakukan sejenis dramatisasi terhadap jelata, bayangkanlah situasi seperti ini.
Seorang bapak tengah 50-an. Sehari-hari bekerja sebagai buruh sampah di sebuah pasar yang ramai. Di tengah hari hujan dan jalan becek, tetap mesti bekerja berkeliling, memungut dan memindahkan sampah ke bak penampungan sebelum dibawa ke TPA. Bapak ini masih punya dua anak yang disekolahkan.Â
Lantas di antara jam-jam mengaso, pergilah beliau ke sebuah warung. Tempatnya berutang makan dan kopi.Â
Pada satu ketika, si ibu yang punya warung cerita soal merek kopi saset yang baru. Yang diminum suaminya ketika demam, lalu sembuh.Â
Bukan cuma pulih, kopi saset itu juga menimbulkan efek "kembali bersemangat" seperti tahun-tahun ketika terlibat revolusi (tua amat). Berdiri atau mati! Heh.
Dan si bapak buruh sampah ini merasa harus mencoba kopi yang sama. Sudah berhari-hari badannya pegal dan kepalanya sering sakit sebab bekerja di bawah guyuran hujan. Harganya pun murah, dampaknya sudah terbukti.Â
Merek bukan pemicu utama. Ketahuilah, cerita yang menyebar dari sebuah produk yang berhasil jauh lebih menular ketimbang mobilisasi iklan berbiaya mahal.