Bitung adalah kota yang tergolong sibuk.Â
Selain memiliki pelabuhan laut utama di Sulawesi Utara, Bitung juga dijejali pabrik-pabrik. Dari pabrik pengolahan ikan hingga minyak goreng. Setiap pagi di hari kerja, jalanannya penuh pekerja yang hilir mudik.Â
Mereka yang ASN, karyawan toko, pekerja perbankan. Juga pedagang, aparatur militer hingga buruh pabrik. Berebut cepat dengan truk besar bermuatan konteiner. Tak terkecuali yang menulis artikel ini.
Dan seperti kota-kota lainnya yang memiliki pantai, selalu tersedia banyak warung penjaja ikan bakar. Bitung juga tumbuh dalam jejaring kedai kopi, dari yang serius (menggunakan jasa barista, setting suasana dibentuk dari permainan cahaya dan dekorasi, dan daftar menu ala coffee shop) hingga yang seadanya.Â
Seperti Manado yang terletak di teluk, dibentuk dari migrasi lokal lalu berkembang pesat dalam pertumbuhan fasilitas konsumsi kuliner, kota kecil yang penduduknya berjumlah 225.134 jiwa (202o) tak mau kehilangan momentum mengelola trend kuliner.
Kota yang terletak di bawah kaki gunung Dua Saudara ini juga memiliki tempat-tempat makan yang bukan saja maknyus. Tempat-tempat makan yang berusaha menyajikan warisan citarasa lokal di tengah suasana (kontestasi) kekinian yang diramaikan serbuan makanan dari kawasan Indonesia yang lain. Bahkan yang diimport dari negeri-negeri di Utara.
Lebih dari itu, percayalah kepada preferensi saya yang sudah bergerak dari Timur ke Barat Nusantara. Di Bitung, ada tempat makan sederhana yang bakal kamu didatangi lagi dan dikenang-kenang. Tempat makan yang dikelola dengan cara rumahan, ditopang oleh para perempuan dan bertahan melewati pasang surut zaman.Â
Salah satunya yang ingin sekali saya ceritakan adalah Warung Tinutuan Ibu Ti Girba. Eh tapi, tahu 'kan tinutuan alias bubur Manado itu terbentuk dari apa?Â
Sependek denah yang bisa ditelusuri dari fasilitas Google Maps, lokasinya terletak di Girian Bawah, kecamatan Girian. Kalau datang dari arah pasar, Anda hanya perlu mengarah ke kantor Lurah Girian Weru, kemudian mengikuti jalan Garuda.Â
Melewati Masjid Jami' An Nur terus hingga ketemu perempatan terakhir. Lewati perempatan itu ke arah laut, sekitar 200 meter di depan warung Ibu Ti segera terlihat.
Saya memang belum mendengar dan mengumpulkan kesaksian langsung dari Ibu Ti yang mungkin berumur menjelang 70an. Terutama mendengar langsung alasannya menjajakan tinutuan, eksperimen apa yang dilakukan hingga ia menemukan "kombinasi yang ngangenin" dan bagaimana ia bisa bertahan selama ini.Â
Bukankah setiap kota bergerak dari riwayat pemenang dan pecundang. Termasuk di dalamnya adalah tumbuh bangkrut warung makan rumahan, bukan? Â
Sebenarnya selain tinutuan yang ngetop, ibu Ti juga menawarkan menu yang lain. Seperti nasi kuning dan lalapan ayam juga minuman seperti jus dan es kacang.Â
Saya baru tahu secuil ceritanya dari seorang kawan yang tinggal dan besar di sekitar Girian. Katanya warung ini sudah berdiri sejak tahun 2000an. Berkembang dari warung kecil dengan menu andalan TINUTUAN alias bubur Manado.Â
Menu dari penemuan lokal yang bertahan melewati dua dasawarsa. Tentu saja ada banyak warung tinutuan di Bitung namun tak berlebihan dikatakan ibu Ti adalah salah satu magnetnya di Bitung.Â
Warungnya hanya memanfaatkan pekarangannya yang cukup luas. Meja-mejanya tertata rapi dan selalu bersih. Semua karyawannya perempuan dan bekerja cekatan. Mereka mulai melayani sejak jam 07.00 WITA.Â
Barangkali karena di pekarangan, mereka yang memilih di sini seperti sedang sarapan di rumah saja. Ada perasaan "at home", maka dengan bermodal cuci muka, sikat gigi dan daster, sudah bisa datang di sini.Â
Tapi jangan salah, warung tinutuan ibu Ti bukan saja nyaman bagi ibu-ibu yang baru bangun dan masih enggan ke dapur apalagi memasak. Atau bapak-bapak yang baru pulang dari ngantar istrinya terus tiba-tiba disergap lapar. Â
Seperti pagi barusan dan pagi-pagi yang tak tercatat oleh saya.Â
Saya mampir dan segera saja menemukan pemandangan manusia yang hampir penuh. Di halaman depan, ada serombongan bapak-bapak militer sedang lahap. Lantas di halaman samping, yang paling luas dan memanjang, ada rombongan pekerja dengan pakaian biru-biru; seperti dari sebuah pabrik.Â
Lalu ada satu keluarga di satu meja untuk empat orang. Kemudian ada dua ibu-ibu ASN berseragam Dishub. Dua orang ibu dengan hijab kekinian. Ketika saya memilih tempat duduk, datang lagi serombongan pekerja perempuan. Pendek kata, tinutuan bu Ti selalu ramai dan dikunjungi bermacam-macam kalangan.
Halaman yang luas dan terbuka memang menawarkan pengalaman sarapan yang nyaman. Ditambah dengan kondisinya yang selalu bersih tertata serta dilengkapi wastafel pencuci tangan. Diperkuat dengan pelayanan yang cepat.
Di tengah kondisi pandemi yang mengkhawatirkan, suasana makan seperti ditawarkan warung ibu Ti adalah kualitas tambahan yang membuat orang tak ragu datang dan kembali.
Lantas, bagaimana dengan tinutuannya? Apa yang membedakannya?
Dari penampakannya, tinutuan ibu Ti tidak memiliki penyajian berbeda. Di banyak tempat di Bitung, Manado, Tomohon, Kotamobagu atau dimana saja di Sulawesi Utara, tinutuan campur akan menyertakan mie. Ada juga yang menambahkan tahu putih rebus, bawang goreng serta suwiran ikan cakalang fufu.Â
Selanjutnya disediakan gorengan, seperti perkedel ikan Nike, perkedel tahu, perkedel jagung atau bakwan. Ada juga yang menambahkan tahu isi, seperti di ibu Ti.Â
Sedang untuk sambalnya, biasanya disediakan dabu-dabu roa, dabu-dabu terasi dan dabu-dabu biasa (tanpa roa dan terasi). Tapi di ibu Ti hanya tersedia yang jenis pertama.Â
Lantas apa yang membuat resep milik ibu Ti berhasil membuat saya mesti menulis kesaksian sarapan? Sementara ini bukan tinutuan pertama yang saya makan walau ada di daftar teratas?
Sebagai penyempurna dari suasana sarapan di pekarangan rumah yang rapi dan bersih, tinutuan yang satu ini berkarakter lembut tapi tak encer. Kombinasi bubur, labu kuning, sayuran dan mi terasa begitu--gimana sih bilangnya?--nempel di ingatan; pokoknya susah untuk diabaikan.Â
Rasa pedis dari dabu-dabu roa, dan sebaiknya jangan kebanyakan, membuatnya makin menggigit.
Adapun rasa manis dan kriuk yang timbul dari bakwan (dari irisan halus wortel, kol, dan jagung) menambah rasa yang kuat. Dan yang tak boleh terlupakan adalah acar wortel-timun-nenas yang manis dan segar.Â
Asam cukanya membuat rasanya makin berwarna-warni. Saya suka sekali menambahkan acarnya.Â
Tak heran, begitu tinutuan ini hadir di depan Anda, segalanya seperti tersedot ke dalam piring. Dunia di sekitar seolah saja tiba-tiba berhenti. Kenyang dan puas. Saya hanya membayar 22.000 ribu untuk seporsi tinutuan, 3 potong bakwan, 2 tahu isi.Â
Sebab itu, seyogyanya para penyantap berterima kasih ada seorang ibu dan para perempuan yang menyajikan kuliner dari penemuan lokal dengan begitu sungguh-sungguh.Â
Mereka tidak sedang bermain-main dengan tinutuan! Itulah mengapa mereka bertahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H