Saya memang belum mendengar dan mengumpulkan kesaksian langsung dari Ibu Ti yang mungkin berumur menjelang 70an. Terutama mendengar langsung alasannya menjajakan tinutuan, eksperimen apa yang dilakukan hingga ia menemukan "kombinasi yang ngangenin" dan bagaimana ia bisa bertahan selama ini.Â
Bukankah setiap kota bergerak dari riwayat pemenang dan pecundang. Termasuk di dalamnya adalah tumbuh bangkrut warung makan rumahan, bukan? Â
Sebenarnya selain tinutuan yang ngetop, ibu Ti juga menawarkan menu yang lain. Seperti nasi kuning dan lalapan ayam juga minuman seperti jus dan es kacang.Â
Saya baru tahu secuil ceritanya dari seorang kawan yang tinggal dan besar di sekitar Girian. Katanya warung ini sudah berdiri sejak tahun 2000an. Berkembang dari warung kecil dengan menu andalan TINUTUAN alias bubur Manado.Â
Menu dari penemuan lokal yang bertahan melewati dua dasawarsa. Tentu saja ada banyak warung tinutuan di Bitung namun tak berlebihan dikatakan ibu Ti adalah salah satu magnetnya di Bitung.Â
Warungnya hanya memanfaatkan pekarangannya yang cukup luas. Meja-mejanya tertata rapi dan selalu bersih. Semua karyawannya perempuan dan bekerja cekatan. Mereka mulai melayani sejak jam 07.00 WITA.Â
Barangkali karena di pekarangan, mereka yang memilih di sini seperti sedang sarapan di rumah saja. Ada perasaan "at home", maka dengan bermodal cuci muka, sikat gigi dan daster, sudah bisa datang di sini.Â
Tapi jangan salah, warung tinutuan ibu Ti bukan saja nyaman bagi ibu-ibu yang baru bangun dan masih enggan ke dapur apalagi memasak. Atau bapak-bapak yang baru pulang dari ngantar istrinya terus tiba-tiba disergap lapar. Â
Seperti pagi barusan dan pagi-pagi yang tak tercatat oleh saya.Â
Saya mampir dan segera saja menemukan pemandangan manusia yang hampir penuh. Di halaman depan, ada serombongan bapak-bapak militer sedang lahap. Lantas di halaman samping, yang paling luas dan memanjang, ada rombongan pekerja dengan pakaian biru-biru; seperti dari sebuah pabrik.Â