3. tiap kali makassar pergi ke jakarta,
makassar membawa pulang oleh-oleh:
beberapa keping jakarta. sekarang makassar
tidak perlu pergi ke jakarta untuk berada
di jakarta.
Tidak cukup sampai di berkunjung saja. Makassar kini ingin menjadi Jakarta yang baru. Makassar telah menjadi Jakarta itu sendiri. Kunjungannya telah menjadi peniruan.Â
Apakah Makassar telah tercerabut dari akar-akarnya? Saya beberapa kali ke Makassar dan mengalami kota yang sibuk, keras dan macet. Tapi saya tidak berani mengiyakan. Lagi pula, ini sebuah narasi dalam puisi, bukan kritik sosiologi perkotaan (yang sedang menyamarkan diri kedalam satire).
4. makassar mencintai jakarta
sebesar jakarta membenci jakarta.
Tibalah kita pada salah satu puncak ironi dalam hubungan ruang/pusat urban di era otonomi daerah. Apa yang kita rindukan ada di kota kita telah menjadi kebencian di kota yang kita idealkan sebagai sumber dari peniruan dan perburuan kesenangan. Sungguh ketergantungan yang paling mengenaskan: hingga pada tingkat imajinasi ruang, kita telah menjajakan diri.
Apa yang kelak kita alami?Â
Kita lihat salah satu saja yang menurut saja begitu tajam menyoroti hubungan ruang dengan segenap konsekuensi ketergantungannya.
10. makassar yang ada di pikiran
& perasaanmu, saat membaca kalimat ini,
adalah makassar yang berbeda. makassar
yang hilang atau makassar yang tidak
pernah datang.
Waduh. Inikah puncak dari ketergantungan imajiatif atas visi urban? Nanti dulu. Di dalam puisi panjang ini, kamu masih akan menemukan kejutan-kejutan dari bagaimana mengalami Makassar di penghayatan puitik si penyair. Misalnya:
17. sekumpulan dosen membuat petisi di internetÂ
mereka ingin makassar mendapat gelarÂ
guru besar.