Lagu yang mengiringi ketika catatan sekena-kenanya ini dibuat seperti sebuah kesepakatan yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya.Â
Seolah saja, dalam bahasa Abegeh kekinian, ketika kamu memiliki niat baik, segera saja semesta akan merestui. Entah bagaimana terjadi, ini bukan pertanyaan yang harus kamu kejar jawabannya.Â
Semua orang terlahir filsuf sebelum Gramsci wafat. Sejak itu, kebanyakan diisi oleh motivator. Hah?!
Tembang yang dipancarkan lewat stasiun radio dan melintasi pagar pembatas instansi pemerintah dan barak ini berjudul Begitu Indah. Tembang milik band PADI.Â
Bila cinta menggugah rasa
Begitu indah mengukir hatiku
Menyentuh jiwaku
Hapuskan semua gelisah
Niat baik apa yang tengah direstui semesta?Â
Saya kenang, di tahun 2013. Kompasiana menemui saya dalam perjumpaan yang tidak diniatkan. Mungkin juga semacam "blessing in disguise". Hari itu di sekitar Tebet Barat, di salah satu sudut megapolitan.Â
Di rumah dua lantai ini, hiruk pikur hidup megapolitan selalu bisa ditunda di depan pagar. Walaupun, kamu juga tahu, keresahan-keresahannya terus saja ikut ke bawah bantal.Â
Siang itu, seorang kawan yang kini disibukan urusan legislasi terlihat fokus di depan komputer. Sesudah beberapa saat, ia menarik nafas panjang. Seperti ada beban yang telah diserahterimakan antara dirinya dengan teknologi pengetik.Â
Saya bertanya sedang apa. Sejak itu, episode panjang ini dimulai.
Hari ketika Kompasiana merayakan 12 tahun, saya akan merayakan 7 tahun nge-blog berjamaah. Tahun yang sebentar untuk usia biologis, barangkali. Tapi bukan yang sebentar untuk produksi tulisan. Tidak penting jenis tulisan itu amatir atau pra-amatir atau ditulis untuk dihapus sendiri. Hehehe.
Lebih drama dari itu, saya tidak pernah bertahan selama ini sejak memilih hijrah dari menyimpan cerita di dalam Catatan Facebook. Atau sebelumnya bermain di rumah blogspot yang sepi.Â
Lalu apa yang saya kenang untuk tujuh tahun itu?Â
Apakah saya pantas mengenang sesudah di tahun ke-9 usia Kompasiana, saya menulis artikel yang judulnya saja sudah
merasa diriruwet: [9 Tahun Kompasiana] Kenangan dan Pergulatan Subyek?Â
Benar saat itu sedang lomba. Dan tulisan saya tidak lebih dari curhat panjang yang dijejali dengan lagak mengajak bermenung. Salah satu kalimat panjangnya yang bikin saya sendiri terkejut-kejut (saat sekarang) adalah:Â
Tumpukan teks atau perpustakaan digital ala Kompasiana telah menjadi gazebo bagi permenungan diri. Ini semacam fungsi positif kenangan dimana ketika menjadi teks, ia membantu penulisnya melakukan perjalanan pikiran yang trans-ruang dan waktu. Secara praktis, ini terjadi ketika saya membaca ulang tulisan-tulisan sendiri, melihat kembali gugusan ide dan suasana batin serta konteks faktualnya, dan menemukan seperti apa saya di sana. Mungkin saya terlalu emosional atau justru dingin berjarak dengan peristiwa dimana saat bersamaan, kebanyakan orang justru gaduh.Â
Kini, sesudah 12 tahun usia Kompasiana, percakapannya bukan lagi perihal kenangan itu selalu aktif. Bukan lagi bahwa membicarakan kenangan aktif yang seperti ini melulu sentimental. Â
Sesuatu yang sejatinya telah tersirat di sana adalah pada keaktifan kenangan yang disalinrupa menjadi catatan-catatan di Kompasiana, ada kesempatan dan jalan ziarah diri dan zaman tertentu. Kesempatan dan jalan bagi ziarah diri ini bukanlah sesuatu yang muluk-muluk atau mewah. Dia tidak memerlukan laku spiritualitas tertentu yang ketat dan melelahkan. Apalagi dukun-dukun digital yang dihidupkan untuk menambang konten belaka.Â
Yang dilakukan di sini adalah bergerak dari tekstualisasi terhadap yang abstrak, memberi kata pada makna.
Dari "laku memahami kedalam" seperti ini, boleh dikata Kompasiana sebagai teknologi pengarsipan digital telah membantu diri tidak tercerabut dari pasang surut masa dan ingatan-ingatan pendek gaya manusia digital.Â
Kompasiana bekerja seperti"teknologi yang melawan lupa" dan membuat saya selalu bertahan di tengah protes dan kekecewaan terhadapnya.
Akan tetapi, soal melawan lupa dengan menziarahi ingatan sendiri bukanlah satu-satunya alasan tetap bertahan itu. Saya kira, pernyataan ini juga tidak meleset-meleset amat dari kesaksian Kompasianer's:
Tentu saja, apa yang selalu subjektif dari kenangan tidak melulu mengenai bercermin di depan tulisan sendiri. Di Kompasiana, kau boleh bercemin pada banyak tulisan. Termasuk, belajar untuk melihat bagaimana sebuah kenangan dimutasikan kedalam teks yang mengabstraksikannya ke sistem makna tertentu, boleh berupa cerpen atau puisi. Atau berupa catatan-catatan humaniora dan politik.Â
Walaupun sekarang saya lebih ngirit berselancar ke kanal politik, becermin di tulisan Kompasiner yang lain tetap saja membantu memperbaharui peristiwa-peristiwa faktual atau sudah pandang berbeda atas tafsir situasi. Selalu ada dialog di sana, termasuk ketika tulisan itu berupa puisi pendek dengan permainan bahasa yang rumit.Â
Dialog adalah bagaimana kita mengerti peristiwa, tempat, dan orang-orang dalam pergulatan makna orang lain.Â
Dalam praktiknya, pengalaman dialog itu bisa terjadi seperti ini. Pada tulisan-tulisan kompasianer tertentu, kita menemukan sesuatu yang bikin kita boleh betah. Bikin kita merasa sedang diwakili. Atau bikin merasa ada yang tidak sungguh-sungguh tidak kita mengerti dari sehari-hari. Padahal kita hidup di dalamnya bertahun-tahun lama.Â
Ini juga bagian dari bagaimana teknologi melawan lupa itu bekerja. Sesudah fase pengarsipan digital dimulai secara berjamaah.Â
Barangkali pertanyaan penting yang tidak khas untuk Kompsiana adalah di usia 12 tahun, bagaimana teknologi melawan lupa seperti ini berhadapan dengan perburuan klik dan perang melawan hoaks?Â
Apakah "teknologi melawan lupa" yang berangkat dari cerita-cerita pribadi gaya kompasianer boleh memberi bantuan terhadap narasi hidup berbangsa dan bernegara yang tidak pernah sepi dari perseteruan (bodoh) politisi, kekerasan vertikal, diskriminasi dan ketidakadilan hingga provokasi yang mengawetkan relasi asimetris antar anak bangsa?
Saya kira, potensi seperti itu akan selalu tersedia. Bahkan mungkin kehadiran suara-suaranya jauh lebih penting bagi percakapan digitalisme yang lebih sehat. Karena berangkat dari kesaksian tertulis orang-orang biasa, dari warga negara di pinggir jalan ia semestinya memberikan keanekaragaman maknawi. Saya dari awal percaya pada kondisi ini.
Sikap dan keyakinan ini sudah pernah saya sampaikan ketika Kompasiana masih memiliki saudara bernama Kompasiana TV. Saya menulis bahwa:
Bagi saya, pada dunia yang berlarian (runaway world) seperti ini, ketika keyakinan-keyakinan lama dibanting-bongkar-tinggalkan dan kesadaran manusia menjadi arena bagi bermacam modus operasi dari nilai-nilai baru, menghidupan pluralisme gagasan dan kritisisme kewargaan adalah juga sebuah 'pertarungan politis'. Pertarungan politis dalam pengertian wujud usaha bersama/kewargaan menentang dan melawan segala operasi kuasa yang hendak memanipulasi kesadaran dan mencari untung ekonomi atas itu semua dari segelintir orang.Â
Anda bisa memeriksa keutuhan pendapat di atas dalam artikel berjudul Dari Undangan Diskusi di Kompasiana TV, Memaknai Esensi bukan Sensasi! yang diunggah tahun 2015.
Artinya, tulisan-tulisan kewargaan bukan saja mesti diberi kesempatan. Ia bahkan harus diberi ruang selama berdiri-berhadapan dari kecenderungan merayakan viral, perburuan click bait, terlebih lagi berkelindan tak karuan dengan mesin-mesin produksi hoaks.Â
Sebagai teknologi melawan lupa (bahwa kita adalah satu bangsa yang semestinya tidak berpecahbelah karena syahwat segelintir manusia lupa diri), Kompasiana sudah menempatkan dirinya di sini sepanjang 12 tahun terakhir. Di tengah datang dan pergi warganya, berusaha menjadi ruang bagi suara-suara yang jauh dari hingar bingar pemberitaan arus utama.
Mungkin saya berlebih-lebihan.Â
Kita tidak mesti memiliki alasan dan niat yang tunggal dalam semesta yang sama untuk bertahan, bukan?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H