Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengalami "Perjamuan Khong Guan"

3 Februari 2020   10:28 Diperbarui: 21 Februari 2020   09:16 3442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjamuan Khong Guan - Joko Pinurbo | Koleksi Pribadi

MINUMAN KHONG GUAN
Tak ada yang lebih tabah
dari jamaah Sapardi:
pagi-pagi sebelum beribadah mandi
sudah membuka kaleng Khong Guan
berisi hujan bulan Juni
dan menjadikannya
minuman pereda nyeri.

(2019)

Sebuah cara sederhana memberi keberjarakan terhadap rutin peristiwa harian adalah dengan membaca puisi-puisi Joko Pinurbo/Jokpin. Termasuk pada karya terbarunya yang diberi judul Perjamuan Khong Guan. 

Keberjarakan itu bisa saja dimaknai dalam ukuran yang fisikal. Sebagai ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat. Jauh atau dekat. 

Tapi keberjarakan juga bisa menunjukan "relasi psikis". Kita mungkin terlanjur terikat padanya. Mungkin sebaliknya: tidak akrab, tampak asing dan menciptakan perasaan ragu-ragu atau tak nyaman. 

Keberjarakan, dapat juga kita mengerti sebagai "problem kultural", sejauh apa kita memaknai hidup, orang-orang serta tragedi yang menyatukan itu semua.

Intinya, situasi keberjarakan yang terbentuk dari puisi dengan lansekap keseharian orang-orang kecil dari Jokpin memberi kita semacam interupsi. Interupsi terhadap yang terlanjur menjadi biasa di mata, isi kepala dan cara kita menyaksi peristiwa.

Perjamuan Khong Guan menghimpun 81 puisi kedalam 4 bab.  Pada bab Kaleng Tiga, ada kumpulan puisi tentang Minnah yang terinspirasi dari aktris korea, Bang Min-ah. 

Dari pemberitaan Tempo, nama ini muncul di saat Jokpin sedang mencari informasi tentang puisi di Korea. Nama Min-ah memberi kesan khusus. Saya terbakar kepo, siapa sih?

Setelah menemukan riwayat singkatnya di laman pencaharian google, Bang Min-ah memang bukan nama asal comot. Min-ah adalah penyanyi juga aktris drama. Setidaknya sudah ada 9 drama seri dan 2 film yang diperankannya sejak tahun 2011. Aktris kelahiran 1993 ini memulai debutnya 2010. 

Tapi kabar selebriti ini, tentu saja, hanya memicu daya puitika. Dalam KALENG TIGA dimana Minnah dilahirkan, kita tidak bakalan membaca selebritisme dan pemujaan terhadapnya yang mengenaskan. 

Jokpin menjadikan Minnah sebagai kritik terhadap tradisi membaca atau kultur literasi. Minnah yang mencerminkan absennya sikap kritis dan mawas diri.

Pada riwayat Minnah ini, saya paling suka puisi yang berjudul: 

KEPALA MINNAH
Kepala Minnah
mengandung perpustakaan
tempat buku-buku,
meja-meja,
kursi-kursi
menyusun sunyi

(2019)

Minnah baru satu semesta puitik yang memberi kita "situasi keberjarakan". Bahwa salah satu bahaya adu sensasi dan kecepatan dalam kehidupan warganet di koloni +62 atau mungkin di banyak tempat. Ngegas saja dulu, paham belakangan!

Bahaya seperti ini bukan saja mengantarai kemunculan sikap-sikap reaksioner dalam kehidupan majemuk. Terlebih jika menyentuh ihwal yang sensitif. 

Lebih dari itu, ketika "sensasi dan kecepatan digitalisme" berkawin dengan teknologi narsisme, manusia juga rentan mengalami pendangkalan pengalaman religius atau kehadiran yang spiritual. Di dalamnya, ada pengalaman keterasingan yang mengerikan. 

Kehilangan yang religius itu bisa dicandrai dalam puisi berjudul;

MALAM VIRTUAL
Tuhan
yang menyalakan sinyal
di antara bual-bual
yang viral,
kucari Natal-ku
yang sunyi
di tengah
timbunan sampah digital.

(2018)

Lantas, bagaimana keterasingan diri yang diawetkan oleh teknologi narsisus itu merefleksikan "keganjilannya" dalam puisi?
Jokpin menghadirkan puitika kritik yang seperti ini:

FOTOKU ABADI
Saban hari ia sibuk
mengunggah foto barunya
hanya untuk mendapatkan
gambaran terbaik dirinya.

"Siapa yang merasa
paling mirip denganku,
ngacung!" ia berseru
kepada foto-fotonya.
Semua menunduk, tak ada
yang berani angkat tangan.

Dan ia makin rajin berfoto.
Teknologi narsisme
terus dikembangkan
agar manusia selalu
mampu menghibur diri
dan merasa bisa abadi.
(2018)

Kita terus melihat jika teknologi selfie dan narsisme, perburuan sensasi dan kecepatan ala digitalisme sebagai daya dorong dari narasi kemalangan-kemalangan anak manusia paska-modern adalah salah satu pusat tema dalam kumpulan puisi ini. 

Daya dorong yang akselerasinya makin dipermudah oleh kegagalan subyek di ruang yang lain. Yakni subyek dengan daya literatif yang kuat. 

Walau puisi-puisi di atas telah cukup memberi kita "suasana yang tragik sekaligus jenaka" dari manusia digital, ada satu karya lagi yang kiranya mencerminkan momen dari kejatuhan manusia modern di hadapan teknologi temuannya. Teknologi yang semestinya memfasilitasi hidup menjadi lebih bermakna.

Mari kita simak lagi yang getirnya mengiris-iris. Juga ironis.

PATAH HATI
Hati-hati dengan hati.

Hatimu yang getas terbuat
dari patahan-patahan hati
yang dirangkai dan direkatkan
oleh tangan tersembunyi.

Aku pernah menemukan
patahan hatimu tercecer
di meja kafe, terlantar di antara
cangkir kopi, asbak, tisu
remah-remah sepi, dan kucing
yang lagi lelap bermimpi.

Waktu itu kau habis cekcok
dengan ponsel kesayanganmu.
Kau kecewa dan marah
kepada hatimu sendiri:
"Kembalikan kewarasanku!"
(2019)

Di masa serba sosial media ini, hati yang berantakan dan kehilangan kewarasan tidak mesti berakar pada sebab eksternal. Bersumber pada sesuatu yang terlepas dari kita, eksis di luar sana dan "mengancam". 

Ia sangat bisa jadi hadir oleh sesuatu yang kita peluk saban hari. Sesuatu yang menyambungkan kita dengan pengalaman jumpa (daring) tanpa harus hadir di sana.

Romantika yang pedih muncul ketika kita kehilangan-sekali lagi!-kemampuan untuk berjarak. Kehilangan keberanian memutuskan keterikatan dengan teknologi ponsel pintar yang lambat laun justru menjadikan penggunanya tampak bodoh. 

Seolah saja, tak ada lagi ruang bagi permenungan diri. 

Lalu, sesudah bagian-bagian yang menunjukan refleksi puitik Jokpin terhadap kehidupan manusia di era serba-online ini, apa yang direnungkannya dalam Perjamuan Khong Guan? Inspirasi puitis apa yang ditemukannya dalam biskuit legendaris ini?

Khong Guan mengisi bab KALENG EMPAT. Kaleng Empat menghimpun 22 puisi.

Sejujurnya, membaca bagian terakhir ini, saya menyangka akan dipenuhi ingatan-ingatan nostalgis. Saya adalah anak zaman yang ditahun 1990an telah menikmati biskuit yang diproduksi sejak tahun 1947 di Singapura ini sebagai salah satu kudapan favorit. Terutama di saat hari raya keagamaan, seperti Lebaran.

Tidak cukup sekadar nostalgis, dalam riwayat Khong Guan yang bercabang-cabang ini, Jokpin juga menunjukan bagaimana nostalgia itu tercabik-cabik oleh kemunculan zaman baru yang tidak lepas dari produksi kehampaan di atas. Saya akan mengambil satu puisi saja.

Misalnya dalam nestapa milik seorang tua di tengah hidup anak cucunya. Manakala kebersamaan hanyalah perkumpulan fisik tanpa percakapan yang tulus dan saling peduli. Tanpa makna.

SIMBAH KHONG GUAN
Simbah muncul di kaleng Khong Guan:
duduk sendirian di meja makan,
mencelupkan biskuit ke dalam teh hangat
dan menyantapnya pelan-pelan.

Anak cucunya sibuk ngeluyur
di jagat maya, tak mau mengerti perasaan
orang tua yang tak lama lagi akan
mengucapkan selamat tinggal, dunia.

Simbah mencelupkan jarinya
ke dalam teh hangat
dan berkata, "Kesepian sosial
bagi simbah-simbah yang merana."

(2019)

SIMBAH KHONG GUAN dengan tajam menampilkan kesepian sosial yang mengendap di dalam jagad maya. 

Orang-orang masa kini diintai degradasi diri yang serius, yaitu tidak tahu cara mengelola kebersamaan secara bermutu. Kebersamaan hadir sebagai sekadar jumlah: ada ayah, ibu, anak-anak dalam satu ruang. Kebanyakan tidak berbicara dan saling mendengar.  Terbenam ke dalam layar gawai.

***
Kritik terhadap kondisi di atas memang telah menjadi "isu bersama" diskursus budaya pun permenungan filosofis. Seolah melanjutkan suara-suara yang curiga dengan apa yang dimusnahkan ketika Pencerahan menjadi megaproyek peradaban Barat dan (dipaksa) meluas kemana-mana.

Dalam "Perjamuan Khong Guan", saya masih menikmati Jokpin dengan kritik sosialnya yang tetap jenaka. Kritik yang menunjukan kemalangan-kemalangan manusia, romantikanya yang absurd dan kesepian-kesepiannya yang tersembunyi riuh di permukaan. 

Kritik-kritik puitik yang mengingatkan akan pentingnya keberjarakan diri dari kemelekatan pada digitalisme.

Sudah semestinya buku ini nangkring di rak bukumu, kawan.
Tabik!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun