Pernah merasa hanya "menjadi bayang-bayang" dalam satu kehidupan kelompok (politik)?Â
Entah karena peran yang kecil bahkan tidak kelihatan di satu lingkungan pergaulan dengan satu karakter yang dominan. Entah karena secara sengaja diposisikan sebagai terlihat tidak memiliki peran apa-apa. Entah karena ingin terlihat ada tapi tidak tahu dengan cara yang bagaimana.Â
Lalu, kau menjadi muak dan ingin melawannya?Â
Saya pernah bertemu jenis yang seperti ini. Tidak banyak, memang. Sebab itu juga catatan ini hanyalah kasus.Â
Sebenarnya, dalam kehadirannya, orang yang ingin keluar dari bayang-bayang ini tidak benar-benar diposisikan tanpa peran. Kehadirannya bahkan membangun sejenis peran yang diinginkan; "ideal" yang diidam-idamkan.Â
Sampai ada jiwa-jiwa rindu pegangan yang berusaha menyalintempel dengan cara yang menggelikan. Kata orang-orang Zaman Pergerakan, jenis salin tempel yang mengambil abu, bukan apinya.Â
Tapi, di hari marak dagang sensasi begini, seberapa teliti kita membedakan mana abu, mana api?Â
Masalahnya bagi jenis yang "menolak menjadi bayang-bayang", apa yang dilakoninya itu bukanlah sesuatu yang akrab dengan kamera, akrab dengan "pengakuan orang banyak". Ini menyakitkan.Â
Saya terus curiga, tidakkah motif ini mungkin berakar dalam sejarah diri yang akrab dengan penghinaan? Tidakah juga memiliki akar dari kultur yang selalu ingin menjadi pemenang? Yang jelas, tidak ada kamus bagi nomor dua apalagi sekasta orang-orang kalah.Â
Pokoknya, tidak ada toleransi bagi bagian dari yang tidak dianggap, tidak disorot, tidak disebut sebagai sosok yang bla..bla..bla..Â
Idealisme (tanpa harus merujuk ideologi) hidupnya mungkin lelah dengan jalan yang senyap. Lelah dengan percakapan yang sepi dan justru khawatir dengan hingar bingar. Ini versi kecurigaan yang negatif, tentu saja.
Walau begitu, kehendak untuk menolak sebagai bayang-bayang sangat bisa jadi adalah juga usaha menemukan otentisitas diri. Usaha pribadi menemukan kedalam diri dan nilai-nilai yang membuatnya mencapai keutuhan. Kemuakan personalnya dibentuk oleh perjumpaan yang berulang dengan lakon dari "pegangan yang palsu". Â
Tapi, tolong jangan membayangkan "kehendak individu" yang seperti ini sebagai konfrontasi Moral Budak Vs. Moral Tuan-nya Nietzsche.Â
Saya hanya sedang membicarakan kegagalan dari kehendak melampaui sekadar bayang-bayang, bukan tentang pantas tidaknya motif-motif di balik kehendak. Lebih terbatas lagi, saya hanya sedang melihat hubungan motif diri dalam situasi bayang-bayang itu dari "budaya layar" (Screen Culture).Â
Budaya layar dimaksud itu saya pinjam dari sebuah serial televisi populer yang diinspirasi kisah hidup tokoh legendaris dari satu peraban yang pernah mengguncang tatanan Anglo-Saxon. Mungkin juga, tenaga eksternal yang mendorongnya ke dalam percepatan krisis.
Saya sedang melihat sejarah kemunculan Ragnar Lothbrok lewat serial Vikings.Â
Sebagai latar belakang singkat, kita perlu tahu jika sesion pertama Vikings pertama kali rilis 2013 dan dikerjakan oleh Michael Hirst. Orang ini adalah penulis naskah berkebangsaan Inggris. Dia telah memproduksi naskah film Elizabeth (1998) dan Elizabeth: The Golde Age (2007). Juga serial The Tudors. Sampai saat ini, Vikings mencapai 5 session. Â
Siapa si Ragnar Lothbrok?
Ragnar Lothbrok adalah seorang pahlawan legendaris Nordik pada era Viking. Kisah hidupnya masih diselubungi mitologi dan legenda.Â
Di era Medieval/Middle Age (abad ke-V s/d ke-XV masehi) atau era yang menandai kejatuhan kekaisaran Roman dan dimulainya Renaisans, Ragnar dikisahkan merintis penjelajahan dan perampasan ke wilayah Barat. Wilayah ini merupakan teritori dari rumpun Saxon, tanah Britania.Â
Dari sudut pandang kuasa Katolisisme yang dominan saat itu, Ragnar dan kumpulannya hanyalah wakil peradaban perompak yang pagan lagi barbar. Hidup dengan dewa-dewa serupa Odin, Thor, Feyer, Loki, dll, mereka adalah wakil peradaban rendah yang berbahaya dunia akhirat.Â
Mereka mungkin luput melihat jika yang sejenis Ragnar bukanlah penjarah biasa. Ragnar, sekurang-kurangnya dalam karakter yang ditampilkan pada Vikings, memiliki ambisi geopolitik yang dahsyat.Â
Pada mulanya, ia memang ingin merintis wilayah penjelajahan baru ke Barat. Lantas ambisinya berkembang mencari daerah koloni bagi rakyatnya. Ia melihat koloni baru sebagai solusi dari perang suku yang sering memangsa mereka sendiri. Karena itu, Ragnar menganjurkan persekutuan dengan sesama Earl. Â
Ragnar adalah pembelajar politik yang selalu antusias dengan tantangan baru. Maka berangsur-angsur, manusia jenis ini berkembang menjadi penakluk yang mencemaskan. Ia ingin menjadi penguasa kawasan, bukan sekadar menjadi Earl dengan visi penjarahan yang begitu-begitu saja.Â
Demikian sosok Ragnar Lothbork dalam dua sesi yang sejauh ini bisa saya candrai.Â
Rollo, Melawan Bayang-bayang dan Tragedinya
Dari penggambaran ringkas tentang Ragnar, terlihat karakter pemimpin yang sangat kuat. Tidak cuma nyali dan ambisi, ia dilengkapi dengan logika (geo)politik yang jempolan. Ia brutal dalam berperang dan cerdik dalam bernegoisasi. Singkat kata, tipikal Ragnar Lothbork adalah calon penguasa kawasan.Â
Secara sosiologi politik, atau mungkin telah menjadi takdir historis, kualifikasi pemimpin yang seperti ini selalu memiliki penopangnya. Selalu memiliki orang-orang yang bersedia mengorbankan diri kepada realisasi mimpi-mimpi itu.Â
Pemimpin seperti ini harus memiliki lingkarang dalam (inner circle) yang kuat, memiliki kemampuan yang beragam dan saling menopang perwujudan  mimpi-mimpi. Ragnar memiliki Floki, ahli perahu. Athelstan, biarawan yang menjadi kawan diskusi serta Rollo, saudara lelakinya yang buas di medan perang. Â
Pada riwayat Rollo-lah, catatan ini "mendapatkan gaungnya". Rollo adalah kehendak melampaui bayang-bayang yang menjumpai tragedi.Â
Mengapa bisa terjadi?Â
Sebelumnya, kita harus memahami Rollo sebagai duet bagi keberhasilan Ragnar. Dia adalah eksekutor dari rencana-rencana. Nyali dan brutalismenya menunjukan kualitas terbaik di medan tempur.Â
Rollo juga adalah musuh yang paling mungkin membunuh Ragnar dalam pertempuran satu lawan satu.Â
Hingga pada satu titik, situasi yang jamak menghinggapi mereka yang hidup dengan kehendak kolektif menjadi pemenang dari satu kumpulan menyeruak. Rollo didera muak, terprovokasi oleh rivalitas dengan saudara sendiri, lalu berambisi melampaui bayang-bayang.
Ia ingin menjadi pusat yang baru. Tidak penting itu dipenuhi dengan jalan memusnahkan saudaranya. Memilih berkhianat dan mulai menjalin aliansi tandingan dengan Jarl Borg. Sayang, ujung ambisi ini hanya membawa Rollo dalam daur kegagalan.Â
Menariknya, yang saya sukai dari Vikings, kegagalan itu berusaha ditampilkan sebagai kombinasi dari multi-faktor. Tidak semata terlalu kuatnya Ragnar. Bukan karena terlalu jauhnya jarak kualitas diri di antara mereka, walau akarnya tetap berada di sini.Â
Vikings berusaha tidak jatuh pada penyederhanaan yang lekas-lekas dengan menciptakan kontras individual. Kegagalan Rollo memiliki justifikasi berlapis-lapis.
Pertama, Rollo bukan saja dia tidak membangun visi yang melampaui apa yang diimajinasikan oleh Ragnar.
Ketika saudaranya membayangkan membuka rute penjelajahan ke Barat dan menantang narasi lama status quo Earl Haraldson, ia hanyalah penunggu kesempatan. Tak berani membayangkan berbeda apalagi mengambil resiko. Ia bahkan terombang-ambing oleh provokasi klasik dari kekuasaan yang mulai melemah, secara visi maupun organisasi.Â
Rollo tidak mampu meletakan dirinya ke dalam gagasan besar. Ambisinya terlalu kerdil: demi pengakuan personal!
Kedua, Rollo tidak menyertakan nasib orang banyak kedalam motif dari kehendak melampaui bayang-bayang.Â
Ia ingin menjadi bukan Ragnar atau melampaui Ragnar. Ragnar dengan segala kualitasnya, capaian-capaiannya menjadi "hantu di pusat kesadaran". Rollo menjadi sibuk berkelahi dengan musuh abstrak, tidak cukup yang kongkrit. Musuh yang dibentuk dari kesalahan-kesalahan berpikir seperti ini jauh lebih menguras energi dari pertempuran nyata.Â
Ia abai pada kondisi yang lebih butuh diperjuangkan. Nasib khalayak. Â Konfliknya dengan Ragnar menjadi konflik kekuasaan yang terlalu mudah dimenangkan Ragnar. Artinya, Rollo gagal menghadirkan alternatif yang menjawab keresahan sosial.Â
Ketiga, tidak semua musuh harus dimusnahkan, Rollo!
Ragnar memang brutal, jenis yang biadap di medan tempur. Ia tak pernah ragu-ragu dengan keahliannya menggunakan pedang maupun kapak. Rollo selevel ini jika bicara kecapakan tempur. Namun Rollo tidak pernah belajar untuk melihat musuh sebagai ekspresi dari "politik". Menghadapinya tidak cukup dengan satu model siasat.Â
Ragnar sebaliknya. Ia bukan saja melihat keberadaan musuh dalam beragam kemungkinan. Dia melihat peradaban lain sebagai tempat belajar, mengambil hal-hal baru yang dirasa baik bagi masyarakatnya.Â
Kelahiran Baru
Rollo memilih menanggung segala akibat dari sesar pikir dan keliru bertindaknya. Kesalahan-kesalahannya mengelola konflik kuasa harus dibayarnya dengan pengasingan sosial. Ia tak lari apalagi bunuh diri. Dalam sanksi sosial yang menggerus martabat diri itu, Rollo berjuang menemukan dirinya yang lebih manusiawi.
Rollo yang ambisinya membutakan cara pandang bertarung agar tak remuk dimakan tragedinya.
Rollo akhirnya menjumpai perdamaian dengan diri sendiri. Ia menerima takdirnya sebagai bukan saingan bagi Ragnar. Ia adalah penopang yang membuat kekuasaan Ragnar tegak, lebih-lebih bagi rakyat mereka agar memiliki hidup yang layak dan tenang. Setidaknya, ini kesimpulan yang terbaca sampai session 2.Â
Dalam monolognya yang getir, Rollo lantas bersaksi di depan Siggy --janda dari Earl Haraldson yang dibunuh Ragnar--ketika dirinya ingin keluar dari bayang-bayang dan menjumpai cahaya, ia justru ketakutan. Ia tidak siap. Â
Ternyata ia tidak memiliki syarat diri untuk menjumpai cahaya itu. syarat diri itu, setidaknya ada pada tiga justifikasi yang sudah disebut di atas.
Rollo akhirnya berdamai dengan jalan nasibnya. Bahwa ia tidak harus menjadi yang disebut-sebut aktor utama dari sejarah sukses penyerbuan ke Barat.Â
Ia adalah kompatriot yang membuat Ragnar Lothbrok bersinar dan fokus pada dunia luar (Outward Looking). Rollo tampaknya mulai sadar, kehebatan mereka karena distribusi dan spesialisasi peran. Persis ketika di tempat lain, pada pesaing-pesaing mereka, segala urusan tersentralisasi.
Kamu ingin berhenti menjadi bayang-bayang dari perebutan kekuasaan?
Mungkin Ragnar dan Rollo bisa menjadi pengantar sederhana untuk itu. Â
***Â
Catatan: Judul artikel ini telah diubah dari sebelumnya berjudul Benci Sebagai Bayang-bayang, tapi yang sebelumnya tayang di kanal HUMANIORA. Keputusan tayang di kanal Humaniora karena isi artikel yang lebih membahas kekuasaan dan budaya kelompok dalam serial Vikings. Tidak tentang Vikings sebagai catatan atas film.Â
Untuk penyesuaian kanal FILM, judulnya diubah menjadi [Serial TV Vikings] Benci Sebagai Bayang-bayang Kuasa, tapi...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H