Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Berlari, "Healthism" dan Cerita Seorang Amatir

31 Desember 2018   13:09 Diperbarui: 6 Mei 2019   11:09 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Perdamaian Sampit | Dok. Pribadi

Keutamaan pemula adalah kesediaan menanggung keram dan sesak, melampaui tubuh yang manja dan memastikan niat tercapai.  Berlari adalah menang terhadap diri! 

Saya hanya punya rencana kecil menyambut akhir tahun 2018. Tidak muluk-muluk tapi sungguh-sungguh. 

Sepanjang Desember, yang sesekali mendung dan hujan lebat, saya berusaha bisa rutin berlari dalam jarak tempuh sejauh 4 kilometer. Sendiri. Dan seboleh mungkin mengurangi jalan kaki. Tidak terlalu penting jika pace-nya di atas 8 dan waktu tempuh menjadi lebih lama. Yang penting saya berlari untuk menguji daya tahan tubuh sesudah tahun-tahun yang gagal menjadi pemain sepakbola profesional. Duuh.

[Baca juga ini ya, Saya, Yanto Basna dan Papua]

Saya berlari di jalanan kota Sampit yang memiliki banyak perempatan. 

Hal pertama yang saya lakukan demi mengabadikan catatan 4 km setiap kali berlari adalah memasang aplikasi khusus di smartphone jenis Xiaomi. Meregistrasi nama saya, lantas memasang foto biar gak salah orang. Sambil memasang opsi, hanya saya yang bisa melihat rekaman data larinya. Hihihi.

Selanjutnya, tentu saja saya harus memiliki sepatu yang bisa dibawa berlari. Bersyukur sekali, di kota yang kecil ini, sepatu jenis Adidas, Nike, Reebok, Fila dan mereka ini tersedia dengan harga miring. Bervariasi di antara delapan puluh ribu sama seratus lima puluh ribu rupiah.

Kawan-kawan saya menyebutnya Sepatu Kresek Merah. Maksudnya, sesudah membeli maka sepatunya dibungkus dengan tas plastik warna merah. Atau kau bisa menyebutnya sepatu kasta BABEBO. Barang Bekas Bos! Karena memang uasliii dan impor. Konon dipasok dari daerah Pontianak, Kalimantan Barat. 

Mula-mula saya memakai Asics, Adidas dan Nike yang tapaknya sudah terkikis. Asics akhirnya berkarir sebagai sepatu yang menemani saya menembus beratnya rawa gambut. Adidas umurnya tak panjang, tapaknya patah dan pensiun lebih cepat. Sekarang hanya ada Nike.

Saya pun membeli beberapa celana pendek. Yang bermerek produk olahraga terkenal tapi dengan jenis KW yang tak bisa dihitung. Pokoknya nyaman dan tidak rewel dibawa berlari. Seterusnya, saya menyusun jadwal yang longgar di kepala. Kapan saya bisa berlari, saya akan jalani.  

Maka sejak permulaan November, tubuh yang pelan-pelan bertambah lingkar pinggangnya ini kubawa berlari dengan capaian jarak-jarak yang pendek, diselingi berjalan kaki. Kemudian jarak ditambah dan berjalan kaki mulai dikurangi hingga ke titik nol. 

Saya melakukannya pagi atau sore hari. Tidak saban hari, memang, karena saya tidak tiap saat di Sampit. Walau begitu, ketika pulang ke kampung saya di Mendawai, sekitar 3-4 jam dengan perahu kelotok melintasi DAS Mentaya ke DAS Katingan, saya juga berusaha bisa tetap berlari. 

Maka bacalah usaha ini sebagai perjuangan seorang amatir yang berlari sekali, istrahatnya tiga hari. Waaaks.

Lantas apa yang berjadi selama saya berjuang menjaga lari yang konsisten di jarak 4 kilometer? 

Sebagai pemula, saya mengalami perlawanan tubuh yang berat dan manja. Bahkan dalam jarak 100 meter saja, sudah membujuk berhenti dan berjalan kaki saja, menarik napas dalam-dalam, atau, balik kanan gak ya?! Jika saya berhasil mengatasinya, maka dalam jarak 500-an meter, serangan berpindah pada pernapasan. Jika saya sukses menahan, maka timbul rasa keram dekat lutut atau di belakang pinggang. Mamaee. 

Pada mulanya, saya akan berjalan (dari pada harus terpantau sesak napas di pinggir jalan). Ambil udara banyak-banyak, menormalisasi lagi napas, dan kembali berlari kecil. Satu yang terlarang saya langgar. Jika sudah mematok jarak tempuh dan rutenya sudah membayang di kepala, jangan tidak dipenuhi!

Itu saja jurusnya, dan saya berusaha menjaga komitmen ini-ciieh- sampai November berakhir dengan catatan pernah berlari 1,3 km hingga 3 km. Pasang surut jaraknya. Bahkan sekali saat, ketika berlari dengan seorang teman, saya tetap menempuh rute yang sama walau sudah ditinggal jauh. Kala itu kami berlari di mulai KFC, lewat di depan City mall menuju Tugu Perdamaian Sampit, sekitar 6 km pergi pulang. 

Saya akhir berhasil tiba di halaman kantor di daerah MT. Haryono dengan wajah pucat dan napas yang tersengal-sengal. Yes! Dan ini bukan satu kali. Dan bukan satu kali saya menghapus rekaman statistik berlari saya di aplikasi, malu sama diri sendiri yang pernah jadi striker (cadangan) tim porseni Sekolah Dasar di Serui, Tanah Papua dulu. 

Dulu bangeet sih. 

Akhirnya, sesudah "masa magang" November, saya menatap kedatangan Desember dengan gagah berani. Saya menyambut bulan yang tak lagi memutar suara getir Yuni Shara ini dengan langsung memasang target 4 km di hari pertama. Pace-nya juga 6, dan saya yakin ini buah salah hitung aplikasi. 

Saya hanya harus terus berlari. Tanpa Forrest Gump di angan-angan. 

Tampak Belakang agar tak terlihat ngos-ngosan, coi..| Dok.Pribadi
Tampak Belakang agar tak terlihat ngos-ngosan, coi..| Dok.Pribadi

Saya akhirnya, sejauh ini, dalam konsistensi yang megap-megap, boleh melampaui (kutukan) tubuh kota. Bahwa di dalam tambun tubuh, tersimpan dosis tertentu leyeh-leyeh melulu.

Selama beberapa kali dalam 31 hari saya bersikeras berlari di batas konstan 4 km dengan pace yang turun naik. Dalam beberapa kali ini, saya juga mengubah rute. Misalnya hari Senin, saya berlari dari MT Haryono, melewati jalan Pemuda, terus ke arah Gatot Subroto, melewati simpang empat Gramedia Exhibition, lantas tiba di taman kota, bergerak ke arah tugu Jelawat dan kembali ke MT. Haryono melewati jalan Ahmad Yani.

Atau berlari ke rute awal, menuju Tugu Perdamaian Sampit dari MT. Haryono, kemudian berputar di jogging track-nya sampai menunjuk angka 4 km, berhenti, lantas foto-foto lah. Sekali waktu saya mencoba dari MT Haryono, menuju simpang empat KFC ke arah Kapten Mulyono, kemudian berbelok melalui jalan Pelita, Antasari, menuju tugu Jelawat yang ikonik itu. 

Eh, kamu bisa membayangkan suasana dan jalan-jalan yang saya sebutkan itu? Kamu pernah ketemu ikan Jelawat? Pernah naik kelotok menyusuri sungai dan ketika ketemu gelombang karena pasang air laut, tiba-tiba saja kau merasa tidak pantas memiliki nenek moyang orang pelaut? 

Pernah tahu Sampit dimana? Atau jangan-jangan, bahkan dimana Kalimantan Tengah juga ragu-ragu? Tenang, ini bukan Haiti.

Apapun itu, saya telah memenuhi kehendak sederhana seorang pemula. Memulai berlari dan berjuang untuk mencapai jarak tempuh tertentu. Dalam bahasa yang sloganistik, Jika tak empat kilo, tak lari namanya! Kira-kira begitu...Ferguso. 

Tugu Ikan Jelawat, Kota Sampit | Dok.Pribadi
Tugu Ikan Jelawat, Kota Sampit | Dok.Pribadi
Tubuh (Udik) dan Healthism
Becoming a healthy subject is a central topic in modern society as health has become a marker of status - Amanda De Graaf (dalam Becoming a Healthy Subject: Discourses of Healthism, Gender and Self-governance in Two Health Magazines)

Menjadi subyek yang sehat tidaklah tiba seketika. Tidak berjalan alamiah. Selalu ada konstruksi ideologi atas tubuh yang menyimpan bukan saja idealitas namun juga seperangkat nilai ke arah sana. Di dalamnya, yang medis, yang sosiologis bahkan yang politis dan ekonomis terlibat. 

Kita bisa mengambil misal pada gaya hidup sehat pada kelas menengah yang berkelindan dengan judul besar gaya hidup perkotaan. Apalagi jika dilabeli dengan atribut "metroseksualitas", gaya hidup sehat dan kelas menengah bukan lagi perkara kultur, ekonomi. Dia bahkan telah merembes kepada percakapan tentang (provokasi) seksisme.

Saya memiliki seorang teman dengan ideologi tubuh sehat yang seperti ini. Saat itu zaman kuliah, tak ada yang bekerja sampingan. Semua kebutuhan menunggu uluran tangan dari rumah. Tetapi dia seorang sudah berani membentuk tubuh dengan diet cukup ketat bersama konsumsi protein yang memakan biaya tidak sedikit. Sedang saya masih sering menjumpai supermi beserta subsidi abon ikan dari kamar sebelah yang baru saja menerima kiriman awal bulan.

Singkat kata-kata, kawan saya itu sedang memasukan dirinya ke dalam citra pria metroseksual. Tidak lebih, tidak kurang. 

Lantas bagaimana dengan tubuh yang udik, yang berpindah-pindah ruang. Bukan saja ruang dalam pengertian urban (dari metropolis terlempar ke kota kecil) pun dalam artian ruang ekonomi (yang bergumul di antara level jelata tanpa pernah tiba di batas menengah)? Bagaimana ideologi tubuh sehat semisal itu bekerja? Atau, mungkinkah dia bekerja?

Saya tidak tahu, kawan. Yang jelas terasa, pada jelata yang bertempur tiap hari untuk menjaga batas minimal dari konsumsi, jangan pernah membicarakan hidup sehat ala ini, ala itu...ala-ala belut, licin dan berliuk-liuk. Jangan pernah bicarakan segala rupa politik urban yang memfasilitasi kehendak menjadi subyek sehat lewat "Car Free Day" atau sejenisnya. Ini semua terlalu serius, mungkin juga asing dan terlihat konyol.  

Pun dengan tubuh udik seperti saya. Yang cuma punya sepatu bermerek BABEBO, huhuhu.

Tidak ada yang muluk-muluk dan mahal dalam parameter ekonomi jika ini yang dirujuk. Termasuk jika dilihat sebagai bentuk absorpsi terhadap urban culture, ini pun terlalu tinggi. 

Saya hanya ingin menjadi saksi bisu dari sejauh apa usaha menghadapi tubuh sendiri, dalam berlari memenuhi target-target tertentu secara teratur hingga jumlah tertentu. Hanya ingin menjadi saksi bahwa tubuh selalu memiliki kemungkin untuk tunduk atau memberontak terhadap segala sesuatu yang memiliki watak mengkoloni sistem citra atau bahkan preferensi tertentu.

Kolonisasi yang seringkali bekerja lembut dengan memanipulasi batas kebutuhan dan keinginan. Yang membuat tubuh layu dan, leyeh-leyeh adalah sekutunya.

Selamat datang 2019. Selamat menyambut pergantian tahun, kawans!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun