Singkat kata-kata, kawan saya itu sedang memasukan dirinya ke dalam citra pria metroseksual. Tidak lebih, tidak kurang.Â
Lantas bagaimana dengan tubuh yang udik, yang berpindah-pindah ruang. Bukan saja ruang dalam pengertian urban (dari metropolis terlempar ke kota kecil) pun dalam artian ruang ekonomi (yang bergumul di antara level jelata tanpa pernah tiba di batas menengah)? Bagaimana ideologi tubuh sehat semisal itu bekerja? Atau, mungkinkah dia bekerja?
Saya tidak tahu, kawan. Yang jelas terasa, pada jelata yang bertempur tiap hari untuk menjaga batas minimal dari konsumsi, jangan pernah membicarakan hidup sehat ala ini, ala itu...ala-ala belut, licin dan berliuk-liuk. Jangan pernah bicarakan segala rupa politik urban yang memfasilitasi kehendak menjadi subyek sehat lewat "Car Free Day" atau sejenisnya. Ini semua terlalu serius, mungkin juga asing dan terlihat konyol. Â
Pun dengan tubuh udik seperti saya. Yang cuma punya sepatu bermerek BABEBO, huhuhu.
Tidak ada yang muluk-muluk dan mahal dalam parameter ekonomi jika ini yang dirujuk. Termasuk jika dilihat sebagai bentuk absorpsi terhadap urban culture, ini pun terlalu tinggi.Â
Saya hanya ingin menjadi saksi bisu dari sejauh apa usaha menghadapi tubuh sendiri, dalam berlari memenuhi target-target tertentu secara teratur hingga jumlah tertentu. Hanya ingin menjadi saksi bahwa tubuh selalu memiliki kemungkin untuk tunduk atau memberontak terhadap segala sesuatu yang memiliki watak mengkoloni sistem citra atau bahkan preferensi tertentu.
Kolonisasi yang seringkali bekerja lembut dengan memanipulasi batas kebutuhan dan keinginan. Yang membuat tubuh layu dan, leyeh-leyeh adalah sekutunya.
Selamat datang 2019. Selamat menyambut pergantian tahun, kawans!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H