Maka sejak permulaan November, tubuh yang pelan-pelan bertambah lingkar pinggangnya ini kubawa berlari dengan capaian jarak-jarak yang pendek, diselingi berjalan kaki. Kemudian jarak ditambah dan berjalan kaki mulai dikurangi hingga ke titik nol.Â
Saya melakukannya pagi atau sore hari. Tidak saban hari, memang, karena saya tidak tiap saat di Sampit. Walau begitu, ketika pulang ke kampung saya di Mendawai, sekitar 3-4 jam dengan perahu kelotok melintasi DAS Mentaya ke DAS Katingan, saya juga berusaha bisa tetap berlari.Â
Maka bacalah usaha ini sebagai perjuangan seorang amatir yang berlari sekali, istrahatnya tiga hari. Waaaks.
Lantas apa yang berjadi selama saya berjuang menjaga lari yang konsisten di jarak 4 kilometer?Â
Sebagai pemula, saya mengalami perlawanan tubuh yang berat dan manja. Bahkan dalam jarak 100 meter saja, sudah membujuk berhenti dan berjalan kaki saja, menarik napas dalam-dalam, atau, balik kanan gak ya?! Jika saya berhasil mengatasinya, maka dalam jarak 500-an meter, serangan berpindah pada pernapasan. Jika saya sukses menahan, maka timbul rasa keram dekat lutut atau di belakang pinggang. Mamaee.Â
Pada mulanya, saya akan berjalan (dari pada harus terpantau sesak napas di pinggir jalan). Ambil udara banyak-banyak, menormalisasi lagi napas, dan kembali berlari kecil. Satu yang terlarang saya langgar. Jika sudah mematok jarak tempuh dan rutenya sudah membayang di kepala, jangan tidak dipenuhi!
Itu saja jurusnya, dan saya berusaha menjaga komitmen ini-ciieh- sampai November berakhir dengan catatan pernah berlari 1,3 km hingga 3 km. Pasang surut jaraknya. Bahkan sekali saat, ketika berlari dengan seorang teman, saya tetap menempuh rute yang sama walau sudah ditinggal jauh. Kala itu kami berlari di mulai KFC, lewat di depan City mall menuju Tugu Perdamaian Sampit, sekitar 6 km pergi pulang.Â
Saya akhir berhasil tiba di halaman kantor di daerah MT. Haryono dengan wajah pucat dan napas yang tersengal-sengal. Yes! Dan ini bukan satu kali. Dan bukan satu kali saya menghapus rekaman statistik berlari saya di aplikasi, malu sama diri sendiri yang pernah jadi striker (cadangan) tim porseni Sekolah Dasar di Serui, Tanah Papua dulu.Â
Dulu bangeet sih.Â
Akhirnya, sesudah "masa magang" November, saya menatap kedatangan Desember dengan gagah berani. Saya menyambut bulan yang tak lagi memutar suara getir Yuni Shara ini dengan langsung memasang target 4 km di hari pertama. Pace-nya juga 6, dan saya yakin ini buah salah hitung aplikasi.Â
Saya hanya harus terus berlari. Tanpa Forrest Gump di angan-angan.Â