Sebab sinisme tidak saja lahir lantas berkembangbiak dari gairah menguliti daftar kekurangan atau cacat pada orang lain--tentu dengan bumbu pergunjingan yang sifatnya offline atau online--namun juga saat bersamaan terus menyatakan itu sebagai ihwal yang tak boleh ada.
Walau begitu, hal paling mengerikan dari sinisme adalah gairah dekaden ini hidup dari memakan fungsi nalarnya sendiri. Dari ketakutan menyangsikan klaim kebenaran sendiri!
Kita telah keliru meletakkan nyinyir dalam menunjuk sesuatu yang berhubungan dengan kesinisan, Sodaraku.Â
Per pengertian, nyinyir adalah perintah atau permintaan berulang-ulang yang membosankan, bikin bete gitu. Nyinyir memiliki saudara kata bernama nyenyeh.
Sedangkan kesinisan berkaitan dengan kondisi sinis. Ada dua makna yang dikandung dari sinis, pertama, bersifat mengejek atau memandang rendah dan kedua, tidak melihat suatu kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu. Demikian Kamus Besar Bahasa Indonesia daring memberitahu.
Artinya, sinisme hanya mungkin muncul pada orang dengan cara melihat atau cara memuja yang mengalami pembengkakan gak karuan (mungkin juga telah busuk dan bernanah di dalamnya).
Atau, dalam bahasa yang agak teknis, mengalami ekslusivisme alias menderita ilusi di dalam kepalanya, hanya dan hanya, dirinyalah yang benar sebenar-benarnya. Tidak mungkin ada kebenaran lain di luar dirinya--atau segerombolan dengannya--dan karena itu juga merasa sedang dalam misi penyelamatan. Sekurang-kurangnya, sedang mewakili kehadiran yang benar.
Dus, yang kemudian bisa kita saksikan adalah setiap hari yang hidup dalam kepala yang sinis adalah kemampuan yang makin terlatih dalam mencatat kekurangan/cacat atau yang disangkakan begitu dari kehadiran orang lain atau yang bukan kelompoknya. Bahkan dunia di luar sana, di luar dari yang diyakininya, hanyalah dunia yang sesat, merosot dan berbahaya. Dunia yang butuh penyelamat.Â
Jika sinisme merujuk pada kondisi di atas, percakapan bermutu alias "komunikasi bebas-paksaan" seperti apa yang Anda harapkan dapat terbangun di depan sinisme?Â
Minim, kalau bukan tidak ada alias hanyalah kesia-siaan.Â
Karena itu juga, berdebat dengan sinisme dalam konteks apapun, sejatinya hanyalah berbicara pada udara kosong. Sedikit yang bisa dilakukan, salah satunya dan barangkali, adalah mengenali kondisi yang membuat sinisme mudah beranakpinak. Usaha mengenali yang tentu saja bersifat suka-suka.Â
Mari kita masuki pelan-pelan. Dimulai dari pertanyaan, dari mana sinisme mengada?
Saya akan menelusuri dua aspek besar yang berkelindan sedemikian rupa hingga membuat sinisme dalam beberapa tahun terakhir ini seperti tak bakal memiliki ujung, khususnya di social media. Bahkan ketika momentum Asian Games dipuji dunia internasional dan kegembiraannya mengajak kepada memperkuat persatuan nasional dan menghentikan seteru politik harian yang banal, sinisme masih saja berkibar-kibar. Aneh.
***
Dua aspek besar, sementara ini disebut sebagai yang subyektal dan yang struktural.
PERTAMA, sinisme selalu memiliki kondisi yang berakar dalam dirinya sendiri. Yakni perihal sesuatu yang tidak pernah bisa dicapainya, yang tidak pernah bisa diraihnya.
Sesuatu yang membuatnya selalu berada dalam perasaan kekurangan. Semacam kehendak pada kepenuhan yang selalu gagal atau tidak mungkin digapai.
Misalnya saja pada barisan pemandu sorak artis dan... calon presiden. Ehem.Â
Mereka yang memandang rendah Via Vallen jelas bukan jenis yang ngerti menyanyi dengan menghibur. Mungkin juga dalam dirinya, hampir segalanya tidak bisa mendekati sebelas dua belas dengan yang dimiliki pelantun lirik Sayang, opo kowe dungu.. ups, krungu ini.
Via Vallen lantas tampil sebagai cermin yang menampil segala yang terlalu indah kepada yang bercermin di depannya. Akhirnya ngamuk-ngamuk sendiri dan menumpahkan itu pada hasrat akan pemujaan yang salah.Â
Anti-Via Vallen dan menjadi Agnes Monica garis keras. Lho, kok bukan Nella Kharisma? Ini kan bukan melon to melon, men?
Di sinilah kondisi krisis identifikasi diri kedua menampilkan dirinya.
Yang sinis tidak bisa lagi mengenali cara untuk membandingkan dirinya sendiri. Tidak lalu memiliki kemampuan untuk melihat apa yang seharusnya dituruti atau justru ditinggalkan dari kecenderungan dirinya yang membuat segalanya tampak suram dan penuh sumpah serapah saja.
Kau bisa bilang, sinisme hidup dari kegagalan menghargai diri sendiri dengan segala rupa kekurangan dan kelebihan. Namun yang lebih celaka dari ini adalah kekurangan-kekurangan yang tidak diakrabinya itu justru menjadi lensa bagi memandang dan menilai kehadiran orang lain. Â
KEDUA, apakah sinisme semata-mata perkara yang akar-akar patologisnya ada dalam kegagalan subyek mengatasi kekurangan atau kekosongannya, baik secara sosial, moral atau filosofis? Bagaimana dengan sinisme yang tumbuh-mekar-beranakpinak dalam polarisasi dukungan politik?
Kemampuan subyek mengatasi kekosongannya secara sosial, moral dan filosofis di sini janganlah dibayangkan sebagai budaya akademis yang hanya mungkin diakses oleh para cerdik cendekia.
Oleh karena itu, subyek yang gagal lantas hanyalah milik mereka yang dinasibkan sebagai pemandu sorak dari arak-arakan perubahan. Tidak sama sekali. Dalam banyak peristiwa sejarah, kita tahu tidak sedikit dari para cerdik cendekia atau mereka yang menjadi elit budaya justru adalah pelaku garda depan dalam gairah sinisme yang berbahaya.Â
Kegagalan subyek terhadap kekosongan yang dimaksud di sini, sekali lagi, bukanlah persoalan bagaimana mengatasinya. Akan tetapi lebih sebagai kemampuan berdamai dan menikmati kekosongan itu. Yang tak kalah penting, kekosongan dimaksud lebih mirip pergulatan di depan absurditas dan bukan lagi pergulatan Mas Pur sesudah ditinggal nikah Mba Novita, misalnya!
Kekosongan subyek tidak semassal itu galaunya, Mbloo. Â
Ini adalah kekosongan yang menyeruak di depan yang abadi dan yang sementara, yang esensial dan yang artifisial, yang hakikat dan yang sifat-sifat.
Jadi, bagaimana kita memahami sinisme yang sudah terlebih dahulu eksis dalam riwayat kegagalan subyek berdamai dengan kekosongan bertemu dengan kehidupan politik lantas berkembang sebagai "gairah kolektif"?
Saya tidak tahu cara atau penjelasan yang lebih tepat selain memahami bahwa politik itu sendiri, dalam artinya yang harian dan formil, yang isinya kontestasi dan pengisian slot representasi, tidak cukup memiliki mekanisme yang baik dalam merawat salah satu pilarnya. Pilar itu adalah "kedaulatan rakyat".
Pilar ini bukanlah ekstensi yang absolut karena demokrasi selalu membuatnya berada dalam status "tanda yang kosong". Idealnya, setiap rangkaian pemilu membuat daulat rakyat selalu berada dalam perebutan dan dimenangkan mereka yang layak, dalam gagasan, rekam jejak dan kompetensi. Tapi kita tahu, ini terlalu muluk.
Terlebih, hasrat akan kontrol kekayaan dan kesadaran membuat demokrasi kehilangan makna. Celakanya, hasrat seperti ini seringkali ditemani nasib baik bagi pelakunya.
Dengan kata lain, kontestasi politik telah berada dalam kendali permainan segelintir orang atau kelompok. Di saat bersamaan, yang mengisi kedaulatan rakyat--dan karena itu juga memiliki potensi "kontra-posisi"--terhadap syahwat segelintir orang/kelompok terlihat sedang mengalami mati daya.
Maksudnya, ketika perebutan segelintir orang itu mengalami bentuk bipolar, kedaulatan rakyat yang mestinya mengambil fungsi "kontra-posisi" ikut terfragmentasi di dalamnya (?). Seperti tidak akan menemukan sejenis "Chains of Equivalent" dalam politik gerakan sosial yang melampaui situasi bipolar dengan menemukan alasan perjuangan bersama yang sesungguhnya. Dalam pada itu, ada kapasitas merumuskan alternatif terhadap sistem dominan.
Bisa jadi, kekosongan dalam pembangunan elemen-elemen kontra-posisi yang menjaga kedaualatan rakyat berdiri di luar manipulasi politik elit adalah kombinasi yang sempurna dari kegagalan subyek dalam menghadapi kekurangan diri atau kekosongan yang intens. Mungkin saja, inilah kondisi patologis-struktural dari gairah sinisme yang berkembang kolektif.
Singkat kata, mengapa sinisme begitu merajalela dalam politik yang bipolar?Â
Karena kita menghadapi gerombolan subyek yang gagal menikmati kekosongan bersamaan dengan kehidupan politik yang terlanjur dikendalikan urat nadinya oleh perseteruan elit.
Inilah kombinasi pelahiran sinisme yang paling mengerikan. Menurutku, siih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H