Kau bisa bilang, sinisme hidup dari kegagalan menghargai diri sendiri dengan segala rupa kekurangan dan kelebihan. Namun yang lebih celaka dari ini adalah kekurangan-kekurangan yang tidak diakrabinya itu justru menjadi lensa bagi memandang dan menilai kehadiran orang lain. Â
KEDUA, apakah sinisme semata-mata perkara yang akar-akar patologisnya ada dalam kegagalan subyek mengatasi kekurangan atau kekosongannya, baik secara sosial, moral atau filosofis? Bagaimana dengan sinisme yang tumbuh-mekar-beranakpinak dalam polarisasi dukungan politik?
Kemampuan subyek mengatasi kekosongannya secara sosial, moral dan filosofis di sini janganlah dibayangkan sebagai budaya akademis yang hanya mungkin diakses oleh para cerdik cendekia.
Oleh karena itu, subyek yang gagal lantas hanyalah milik mereka yang dinasibkan sebagai pemandu sorak dari arak-arakan perubahan. Tidak sama sekali. Dalam banyak peristiwa sejarah, kita tahu tidak sedikit dari para cerdik cendekia atau mereka yang menjadi elit budaya justru adalah pelaku garda depan dalam gairah sinisme yang berbahaya.Â
Kegagalan subyek terhadap kekosongan yang dimaksud di sini, sekali lagi, bukanlah persoalan bagaimana mengatasinya. Akan tetapi lebih sebagai kemampuan berdamai dan menikmati kekosongan itu. Yang tak kalah penting, kekosongan dimaksud lebih mirip pergulatan di depan absurditas dan bukan lagi pergulatan Mas Pur sesudah ditinggal nikah Mba Novita, misalnya!
Kekosongan subyek tidak semassal itu galaunya, Mbloo. Â
Ini adalah kekosongan yang menyeruak di depan yang abadi dan yang sementara, yang esensial dan yang artifisial, yang hakikat dan yang sifat-sifat.
Jadi, bagaimana kita memahami sinisme yang sudah terlebih dahulu eksis dalam riwayat kegagalan subyek berdamai dengan kekosongan bertemu dengan kehidupan politik lantas berkembang sebagai "gairah kolektif"?
Saya tidak tahu cara atau penjelasan yang lebih tepat selain memahami bahwa politik itu sendiri, dalam artinya yang harian dan formil, yang isinya kontestasi dan pengisian slot representasi, tidak cukup memiliki mekanisme yang baik dalam merawat salah satu pilarnya. Pilar itu adalah "kedaulatan rakyat".
Pilar ini bukanlah ekstensi yang absolut karena demokrasi selalu membuatnya berada dalam status "tanda yang kosong". Idealnya, setiap rangkaian pemilu membuat daulat rakyat selalu berada dalam perebutan dan dimenangkan mereka yang layak, dalam gagasan, rekam jejak dan kompetensi. Tapi kita tahu, ini terlalu muluk.
Terlebih, hasrat akan kontrol kekayaan dan kesadaran membuat demokrasi kehilangan makna. Celakanya, hasrat seperti ini seringkali ditemani nasib baik bagi pelakunya.