Mari kita masuki pelan-pelan. Dimulai dari pertanyaan, dari mana sinisme mengada?
Saya akan menelusuri dua aspek besar yang berkelindan sedemikian rupa hingga membuat sinisme dalam beberapa tahun terakhir ini seperti tak bakal memiliki ujung, khususnya di social media. Bahkan ketika momentum Asian Games dipuji dunia internasional dan kegembiraannya mengajak kepada memperkuat persatuan nasional dan menghentikan seteru politik harian yang banal, sinisme masih saja berkibar-kibar. Aneh.
***
Dua aspek besar, sementara ini disebut sebagai yang subyektal dan yang struktural.
PERTAMA, sinisme selalu memiliki kondisi yang berakar dalam dirinya sendiri. Yakni perihal sesuatu yang tidak pernah bisa dicapainya, yang tidak pernah bisa diraihnya.
Sesuatu yang membuatnya selalu berada dalam perasaan kekurangan. Semacam kehendak pada kepenuhan yang selalu gagal atau tidak mungkin digapai.
Misalnya saja pada barisan pemandu sorak artis dan... calon presiden. Ehem.Â
Mereka yang memandang rendah Via Vallen jelas bukan jenis yang ngerti menyanyi dengan menghibur. Mungkin juga dalam dirinya, hampir segalanya tidak bisa mendekati sebelas dua belas dengan yang dimiliki pelantun lirik Sayang, opo kowe dungu.. ups, krungu ini.
Via Vallen lantas tampil sebagai cermin yang menampil segala yang terlalu indah kepada yang bercermin di depannya. Akhirnya ngamuk-ngamuk sendiri dan menumpahkan itu pada hasrat akan pemujaan yang salah.Â
Anti-Via Vallen dan menjadi Agnes Monica garis keras. Lho, kok bukan Nella Kharisma? Ini kan bukan melon to melon, men?
Di sinilah kondisi krisis identifikasi diri kedua menampilkan dirinya.
Yang sinis tidak bisa lagi mengenali cara untuk membandingkan dirinya sendiri. Tidak lalu memiliki kemampuan untuk melihat apa yang seharusnya dituruti atau justru ditinggalkan dari kecenderungan dirinya yang membuat segalanya tampak suram dan penuh sumpah serapah saja.