Bagaimanakah bahasa puisi itu persisnya?
Untuk keperluan ini, suka atau tidak, kita harus masuk pada penjelasan yang lebih abstrak dan karena itu, konseptual.
Maksud saya, kita harus melihat puisi atau sastra secara umum sekelompok dengan buah dari pencapaian akal budi manusia, yakni filsafat dan sains. Jika filsafat, sederhananya, berkutat dari aktifitas spekulatif rasio dalam pencaharian kebenaran sedangkan sains berkutat dalam pencaharian kebenaran menurut prosedur metode ilmiah, atau sebut juga bahasa jurnalisme yang berkehendak mencari kebenaran informasi dengan prosedur jurnalistik, maka puisi tidak berdiri dalam kehendak yang sama.
Kehendak itu adalah penggunaan rasio untuk mencari kebenaran dengan permainan kata-kata.
Puisi mencurigai rasio yang membawa pengertian yang sudah tetap dan stabil, seperti dalam sistem makna dalam dunia yang rutin, dalam ideologi dan teks agama-agama. Atau lebih persisnya, puisi tidak berada dalam posisi  sebagai aparatus konseptual yang menampung "idea" sehingga dengan begitu ia bergumul dengan terang kebenaran tertentu.
Secara serempak, dalam sebuah wawancara dengan Nadjwa Shihab, dua begawan puisi Indonesia, mengatakan jika puisi adalah bunyi. Dua Begawan itu adalah Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Pertanyaannya adalah bunyi yang seperti apa? Bunyi kata serupa apa yang layak disebut puisi? Apakah serupa susunan rima: a-a-b-b/a-b-a-b dalam kaidah empat baris membentuk bait?
Saya kutipkan agak panjang di sini:
Menulis merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. Ketika kata diterakan dengan huruf, ia menyandang tanda-tanda yang sudah ada dalam khasanah umum. Bahasa yang paling privat pun, seandainya  ada, bergerak di medan orang ramai itu. Bahkan ketika satu kaliman diucapkan secara lisan oleh seorang Robinso Crusoe kepada dirinya sendiri, struktur verbal itu mendapatkan bentuknya karena model yang datang dari orang lain. Di saat itu, seorang Crusoe menemui bahasa, pada saat ia menemukan bahasa.
'Menemukan' bahasa berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Pengalaman itu baru---mungkin bertaut dengan sugesti atau asosiasi---karena ia belum ada di kancah orang ramai.
Tapi sementara 'menemui' bahasa adalah bergerak pada bahasa yang hidup di permukaan komunikasi , 'menemukan' bahasa berawal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ibarat kawah di bawah kepundan yang mengeluarkan asap. Kita tahu kata selalu bertaut dengan ingatan, dan himpunan ingatan di kepala saya membentuk kawah itu: dunia privat saya yang sendiri. Ketika saya menulis, mau tidak mau, saya hidup dalam dunia privat bahasa itu---dan dari sana terjadilah impetus untuk 'menemukan bahasa', sebab bahasa di permukaan komunikasi bukanlah bahasa yang selalu memadai dan memuaskan.