Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kitab "Fragmen", Puisi dan Sedikit Catatan

30 Agustus 2018   10:08 Diperbarui: 4 September 2018   14:45 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Fragmen, Goenawan Mohamad | BukuKita.com

Akan tetapi hubungan situasional yang memungkinkan apa yang ada di kepala Anda dan yang terinstitusikan itu bisa langgeng dan bertahan. Hubungan dimaksud adalah hubungan yang terang, jelas, tetap dan stabil. Singkatnya, Anda mengetahui persis bagaimana menjalani setiap rangkaian aktifitas dalam pola-pola itu.  Sekali saja "ada yang gelap"--misalnya terjadi perubahan posisi atau tata cara dalam institusi atau, paling ekstrim, Anda dipecat dari ASN--maka yang rutin dari hari-hari akan terguncang.

Yang rutin bisa tiba-tiba menampilkan diri sebagai yang asing.

Pada hubungan yang terang, jelas, stabil dan tetap--kita sebut saja kerangka situasional dari pengertian--ada bahasa yang hidup dalam pengertian bersama. Bahasa yang harus diacu bersama, bahasa yang menjadi "milik orang ramai".

Bahasa itu bukan sebatas susunan kalimat yang menyatukan percakapan orang banyak, sebagaimana bahasa sebagai lingua franca. Namun juga ia hanya mungkin menjadi lingua franca karena makna yang ada di balik system percakapan atau system tulis dari bahasa dimaksud dimengerti bersama.

Misalnya jika Raisa menulis, Aji...%$&#@. Sampai kapan pun, selama tak ada system makna yang diacu untuk menjelaskan symbol-simbol itu, apa yang dimaksud Raisa tidak pernah jelas. Akan berbeda ketika ia mengatakan, "Ji, arti dari lambang-lambang aneh itu adalah gambaran suasan hatiku yang tak pernah bisa mengungkapkan dengan kata-kata tentang sosokmu yang hanya ada dalam 1000 tahun penciptaan lelaki luar biasa!"

Nah, kalau yang kedua, maksudnya jelas tereng benderang, bukan?

Sama halnya, pada contoh sebagai ASN, Anda juga akan mengacu pada system makna yang telah ada bersama agar aktifitas dalam kantor bisa berjalan secara organisatoris. Sekali saja Anda menggunakan bahasa di pasar seperti pedagang kaki lima di pusat kota, akan ada kondisi yang guncang.

Ambil misal lain seperti begini. Anda adalah ASN yang bertugas di loket layanan e-KTP (pernah kan ngurus KTP elektronik wahai pembaca?). Sudah ada prosedur kerja yang menjadi acuan dalam melayani. Namun, entah karena belum terima gaji 13 atau karena kesal dengan gebetan Anda di ruang sebelah yang ternyata sudah pacaran dengan pak Camat, Anda terus berteriak dengan megaphone, "Layanan KTP elektronik. Layanan KTP elektronik, segera dibereskan sebelum dikorupsi!"

Apa yang akan terjadi? Anda jelas tidak gila. Anda hanya melakukan yang tidak diatur oleh prosedur, bahasa layanan atau sistem makna yang sudah diacu bersama.

Apa yang tidak terang dalam bahasa ramai, apa yang tidak eksis dalam yang rutin, yang menolak menjadi baku-terpola, yang tidak atau menolak menjadi milik orang banyak dalam kehadiran bahasa itulah ruang yang dihidupi oleh bahasa puisi.

Tentu saja bahasa puisi bukan sesederhana tindakan berbahasa yang serupa aksi sepihak ASN di atas. Lebih subtil dan rumit, bahasa puisi memberi  ruang untuk menurut pengalaman-pengalaman tersembunyi dari ASN yang lelah dengan dinginnya birokrasi yang efektif dan efisien.  Pengalaman yang mungkin berisi trauma, keterasingan, dan kekalahan manusia di depan sangkar besi birokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun