Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Lelaki yang Belajar pada Tiang Listrik

18 November 2017   07:47 Diperbarui: 24 November 2017   06:15 4457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: National Geographic Indonesia

Lelaki yang sehari-hari hidup dari satu pembuangan sampah ke pembuangan sampah berikutnya telah memilih sebagai apa di sisa hidupnya. Umurnya memang belum lagi mendekati setengah abad tapi nasibnya belum pernah bergerak jauh sejak dia masih berupa janin yang kadang didoakan, lebih sering disumpahserapahi.

Saya berpikir, apa yang menginspirasinya adalah perkara yang tolol. Bagaimana mungkin makhluk hidup mengambil teladan pada benda mati? Seolah saja hanya tersisa dia seorang diri di muka bumi dengan kumpulan benda mati di segala penjuru!

Seharusnya ia hidup di sebuah padepokan yang mentradisikan kebajikan hidup, ini komentar saya pertama kali. "Hahaha, apa yang interesting dari ajaran kebaikan yang bersumber dari sebuah padepokan kebajikan? Tidakkah memang begitu urusan sehari-hari mereka?"

Sialan! Umpat saya. Pakai bahasa Inggris pula.

Lelaki itu lalu menjelaskan satu ilustrasi yang mencengangkan. Saya mencatatnya dengan teliti.

Kau harus pertama-tama menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang menuntut pengakuan terlalu sering. Bahkan terhadap hal-hal yang remeh, sepele, buang-buang waktu. Orang-orang yang mengerti jika hasrat akan pengakuan ini adalah sumur bagi keuntungan menjudulinya dengan "dunia yang makin terhubung". Lalu mereka membuat sebuah sistem yang menjadi arena bagi pertempuran hasrat itu.

Saya rasa, yang dia maksudkan adalah sosial media. "Ini bukan semata sosial media. Sosial media hanya bentuk mutakhirnya. Jejaknya jauh lebih tua."

Jejaknya bahkan susah dilacak. Bahkan ke zaman dimana Tuhan masih didekati sebagai ketidaktahuan yang menakutkan, nenek moyang manusia sudah berderet-deret memohon pengakuan. Mereka bersimpuh di depan batu, pepohonan raksasa, atau sebuah goa yang mengabadikan gelap sepanjang hari dengan permohonan agar diakui sebagai orang-orang bersalah yang harus diselamatkan dari bencana. Entah wabah atau gunung meletus.

"Sudah kau catat?"

Hal yang sama terus berlangsung ketika Tuhan lebih bisa dipahami oleh alasan-alasan yang masuk di akal. Zaman agama-agama kitab. Manusia menciptakan sekolah dan mendidik kaum Kelriks--"Kau pernah dengar kaum ini?"

"Maksudmu, Kleriks?"

Ya, kaum dalam posisi yang lama saja: ketertundukan pada yang Ilahiah dan mencari pengakuan sebagai orang-orang saleh sembari berharap tergolong mereka yang akan diselamatkan. Hingga era dimana, konon, Tuhan telah digantikan oleh kepercayaan yang baru: Sains. Kepercayaan dengan watak dasar yang sama saja, pengakuan bahwa manusia boleh memimpin sejarahnya sendiri dengan kecanggihan akalnya.

"Bagaimana dengan era sekarang?"

Yang membedakan hanyalah model ekspresi dan sumber-sumber pengakuan. Manusia adalah manusia, hidupnya terasa basi jika tidak memberi ruang bagi perhatian orang lain atas apa yang dia lakukan atau sudah dicapainya. Homo Socius telah menjadi Homo Narcisus. Karena itu, kita perlu belajar pada...

"Benda-benda mati?" tanya saya. Memotong.

"Ya, tepat. Pada tiang listrik."

"Tiang listrik?"   

Menjadi tiang listrik pada negeri manusia bukanlah soal sederhana. Terlebih negeri dengan pertunjukan drama dimana-mana.

Selamanya, kau hanyalah sebuah penyangga terang dari hiruk pikuk hidup manusia yang ketakutan terhadap gelap. Penyangga sepi di bawah langit terbuka dengan musim yang silih berganti. Tidak ada yang pernah bertanya apakah kau kedinginan atau seberapa kuat menanggung panas. Termasuk bertanya, bagaimana kau bisa setabah itu mengabdi.

Selama ini, kau tidak lebih dari perantara bisu pada hidup manusia yang setiap hari berburu kesejahteraan dan kesenangan. Mengantarai berjalannya mesin di pabrik-pabrik dan restoran-restoran gemerlap atau mall yang menyala sejak pagi hingga tengah malam.

Kau tidak bisa bertanya, dari mana sumber listrik yang melewati tubuhmu. Apakah bersumber dari PLTA yang instalasinya membunuh ikan-ikan endemik di sebuah sungai dan mencemari sumber air perkampungan petani.Atau bersumber dari pembengkakan tarif yang dikorup kelompok bisnis tertentu tanpa pernah bisa disentuh oleh pedang hukum.

"Siapa pula yang pernah bertanya kepada tiang listrik?" tanya saya keluar dengan tawa tertahan.

"Kau orang terpelajar walau tingkat sekolah dasar. Aku bahkan lebih rendah, (merasa) terpelajar dari buku-buku yang kupungut di pembuangan sampah. Jangan terlihat lebih bodoh, lah."

Kampret, maki saya dalam hati. "Kau sudah siap mencatat lagi?" Saya hanya mengangkat sebelah alis.

"Mestinya yang kau tanyakan adalah mengapa tiang listrik? Bukan jalan raya, gardu ronda atau pos satpam, misalnya? Bukankah mereka juga menjalani hidup sebagai penyangga saja? Tapi sudahlah, kita abaikan bagian ini."

Singkat kata. Yang kumaksudkan, sebagai tiang listrik, dengan tubuh perak kehitaman memanjang seolah menantang angkasa, kau dilahirkan oleh perkawinan beberapa cabang sains. Sekurang-kurangnya, oleh fisika dan ekonomi. Kau memiliki riwayat yang tua, di masa awal penemuan apa yang disebut kehidupan modern dan menopang apa yang disebut ekonomi mekanik.

"Apalagi ini?"

"Catat saja. Bagian-bagian ini memang rumit dan, maaf, memang tidak ditujukan untuk daya pikirmu yang jungkir balik memahami bagaimana 2x4 bisa sama hasilnya dengan 10x6+4:8."

Taek, maki saya lagi. Filosof pembuangan sampah!

Kau dalam wujud tiang listrik adalah bagian kunci pada zaman dimana kegelapan akan melahirkan protes bahkan kehancuran sebuah bangsa. Kota-kota akan sepi, pabrik-pabrik akan mati. Dan orang-orang berduyun-duyun datang untuk marah-marah di jalanan. Revolusi!

Tidak banyak kepala manusia menyadari arti penting seperti ini. Apalagi mengakuinya. Bahkan jika mereka tidak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, belum tentu menyadari.

"Wow. Bagaimana kau bisa tiba pikiran aneh begini?"

Saya bingung, apakah harus kagum atau merasa sedang mendengar kegilaan.

"Barusan, tadi malam."

Lelaki itu lalu membakar sisa puntung Marlboro merah. "Tapi bagian ini sebaiknya jangan kau catat. Tidak semua cerita hidup Cicero dicatat Tullius, bukan?" Kepulan asap yang telah menebar uap serupa bau Walang Sangit mengudara.

"Aku baru pulang dan meniti jalanan menuju rumah dengan perut lapar sejak pagi. Ketika itu langit sedang gerimis. Jarakku sekitar 300 meter dari tiang listrik yang kini seperti pesohor saja. Sebuah mobil mahal melaju sedang dan menabrak sebuah tiang listrik. Dari dalam mobil keluar beberapa orang, wajahnya tak terlihat jelas di bawah sorot lampu remang-remang."

Bau Walang Sangit dikepulkannya lagi. Whuuuussh.

"Kudekati lokasi kecelakaan tunggal. Mobil mewah itu agak penyok di bagian depan. Tak hancur-hancur amat. Selebihnya, baik-baik saja, masih mulus di banyak bagian. Lantas ku pindahkan pandangan pada kekokohan yang tegak menantang malam: tiang listrik masih tegak. Tiba-tiba petir bergelegar, aku seperti dipilih untuk menerima pencerahan."

"Pencerahan?"

"Ya, pencerahan. Pembebasan pikiran dari kebodohan. Namun baru kusadari besok pagi. Ketika mampir untuk memohon utang di warung bule Patmi. Dari radionya, aku baru tahu di mobil itu ada petinggi negeri yang sedang dicari-cari seluruh penduduk negeri. Aku serasa mendengar senjakala yang berusaha melawan tanpa berpikir kehancuran yang lebih besar akan melindasnya. Tapi, bukan ini yang menarik perhatianku. Kau sudah bisa menduga apa?"

"Jelas saja tiang listrik. Bangk..."

"Salah. Tagar Save Tiang Listrik yang bergema di seluruh penjuru. Dari padanya aku menemukan makna yang lebih dalam tentang arti hidup manusia, hasrat akan pengakuan, serta bagaimana berdamai dengan nasib tanpa banyak celoteh mengenaskan."

"Apakah bagian ini harus saya catat?"

"Tidak usah. Aku ingin kita mengenang peringatan Cicero, Any man can make mistakes, but only an idiot persists in his error."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun