Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Lelaki yang Belajar pada Tiang Listrik

18 November 2017   07:47 Diperbarui: 24 November 2017   06:15 4457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: National Geographic Indonesia

"Kau orang terpelajar walau tingkat sekolah dasar. Aku bahkan lebih rendah, (merasa) terpelajar dari buku-buku yang kupungut di pembuangan sampah. Jangan terlihat lebih bodoh, lah."

Kampret, maki saya dalam hati. "Kau sudah siap mencatat lagi?" Saya hanya mengangkat sebelah alis.

"Mestinya yang kau tanyakan adalah mengapa tiang listrik? Bukan jalan raya, gardu ronda atau pos satpam, misalnya? Bukankah mereka juga menjalani hidup sebagai penyangga saja? Tapi sudahlah, kita abaikan bagian ini."

Singkat kata. Yang kumaksudkan, sebagai tiang listrik, dengan tubuh perak kehitaman memanjang seolah menantang angkasa, kau dilahirkan oleh perkawinan beberapa cabang sains. Sekurang-kurangnya, oleh fisika dan ekonomi. Kau memiliki riwayat yang tua, di masa awal penemuan apa yang disebut kehidupan modern dan menopang apa yang disebut ekonomi mekanik.

"Apalagi ini?"

"Catat saja. Bagian-bagian ini memang rumit dan, maaf, memang tidak ditujukan untuk daya pikirmu yang jungkir balik memahami bagaimana 2x4 bisa sama hasilnya dengan 10x6+4:8."

Taek, maki saya lagi. Filosof pembuangan sampah!

Kau dalam wujud tiang listrik adalah bagian kunci pada zaman dimana kegelapan akan melahirkan protes bahkan kehancuran sebuah bangsa. Kota-kota akan sepi, pabrik-pabrik akan mati. Dan orang-orang berduyun-duyun datang untuk marah-marah di jalanan. Revolusi!

Tidak banyak kepala manusia menyadari arti penting seperti ini. Apalagi mengakuinya. Bahkan jika mereka tidak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, belum tentu menyadari.

"Wow. Bagaimana kau bisa tiba pikiran aneh begini?"

Saya bingung, apakah harus kagum atau merasa sedang mendengar kegilaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun