"Barusan, tadi malam."
Lelaki itu lalu membakar sisa puntung Marlboro merah. "Tapi bagian ini sebaiknya jangan kau catat. Tidak semua cerita hidup Cicero dicatat Tullius, bukan?" Kepulan asap yang telah menebar uap serupa bau Walang Sangit mengudara.
"Aku baru pulang dan meniti jalanan menuju rumah dengan perut lapar sejak pagi. Ketika itu langit sedang gerimis. Jarakku sekitar 300 meter dari tiang listrik yang kini seperti pesohor saja. Sebuah mobil mahal melaju sedang dan menabrak sebuah tiang listrik. Dari dalam mobil keluar beberapa orang, wajahnya tak terlihat jelas di bawah sorot lampu remang-remang."
Bau Walang Sangit dikepulkannya lagi. Whuuuussh.
"Kudekati lokasi kecelakaan tunggal. Mobil mewah itu agak penyok di bagian depan. Tak hancur-hancur amat. Selebihnya, baik-baik saja, masih mulus di banyak bagian. Lantas ku pindahkan pandangan pada kekokohan yang tegak menantang malam: tiang listrik masih tegak. Tiba-tiba petir bergelegar, aku seperti dipilih untuk menerima pencerahan."
"Pencerahan?"
"Ya, pencerahan. Pembebasan pikiran dari kebodohan. Namun baru kusadari besok pagi. Ketika mampir untuk memohon utang di warung bule Patmi. Dari radionya, aku baru tahu di mobil itu ada petinggi negeri yang sedang dicari-cari seluruh penduduk negeri. Aku serasa mendengar senjakala yang berusaha melawan tanpa berpikir kehancuran yang lebih besar akan melindasnya. Tapi, bukan ini yang menarik perhatianku. Kau sudah bisa menduga apa?"
"Jelas saja tiang listrik. Bangk..."
"Salah. Tagar Save Tiang Listrik yang bergema di seluruh penjuru. Dari padanya aku menemukan makna yang lebih dalam tentang arti hidup manusia, hasrat akan pengakuan, serta bagaimana berdamai dengan nasib tanpa banyak celoteh mengenaskan."
"Apakah bagian ini harus saya catat?"
"Tidak usah. Aku ingin kita mengenang peringatan Cicero, Any man can make mistakes, but only an idiot persists in his error."