Ya, kaum dalam posisi yang lama saja: ketertundukan pada yang Ilahiah dan mencari pengakuan sebagai orang-orang saleh sembari berharap tergolong mereka yang akan diselamatkan. Hingga era dimana, konon, Tuhan telah digantikan oleh kepercayaan yang baru: Sains. Kepercayaan dengan watak dasar yang sama saja, pengakuan bahwa manusia boleh memimpin sejarahnya sendiri dengan kecanggihan akalnya.
"Bagaimana dengan era sekarang?"
Yang membedakan hanyalah model ekspresi dan sumber-sumber pengakuan. Manusia adalah manusia, hidupnya terasa basi jika tidak memberi ruang bagi perhatian orang lain atas apa yang dia lakukan atau sudah dicapainya. Homo Socius telah menjadi Homo Narcisus. Karena itu, kita perlu belajar pada...
"Benda-benda mati?" tanya saya. Memotong.
"Ya, tepat. Pada tiang listrik."
"Tiang listrik?"
Menjadi tiang listrik pada negeri manusia bukanlah soal sederhana. Terlebih negeri dengan pertunjukan drama dimana-mana.
Selamanya, kau hanyalah sebuah penyangga terang dari hiruk pikuk hidup manusia yang ketakutan terhadap gelap. Penyangga sepi di bawah langit terbuka dengan musim yang silih berganti. Tidak ada yang pernah bertanya apakah kau kedinginan atau seberapa kuat menanggung panas. Termasuk bertanya, bagaimana kau bisa setabah itu mengabdi.
Selama ini, kau tidak lebih dari perantara bisu pada hidup manusia yang setiap hari berburu kesejahteraan dan kesenangan. Mengantarai berjalannya mesin di pabrik-pabrik dan restoran-restoran gemerlap atau mall yang menyala sejak pagi hingga tengah malam.
Kau tidak bisa bertanya, dari mana sumber listrik yang melewati tubuhmu. Apakah bersumber dari PLTA yang instalasinya membunuh ikan-ikan endemik di sebuah sungai dan mencemari sumber air perkampungan petani.Atau bersumber dari pembengkakan tarif yang dikorup kelompok bisnis tertentu tanpa pernah bisa disentuh oleh pedang hukum.
"Siapa pula yang pernah bertanya kepada tiang listrik?" tanya saya keluar dengan tawa tertahan.