Teet. Teet. Suara klakson berbunyi, mengalihkan percakapan ke luar. Di depan kami, sebuah mobil putih berhenti. Seorang laki-laki, kurus, bergulip agak gelap, dengan kaos bergambar daun ganja, keluar. Supir kami juga keluar. Mereka bercakap di sisi jalan yang berdebu.
"Sampian semua pindah ke mobil di depan, ya."
Suara supir. Saya menatap wajahnya. Resiko penumpang di tengah jalan. Tak ada yang protes. Sudah barang biasa.
"Terus di Sampit, pian mau kemana?"
Percakapan dilanjutkan lagi di mobil yang baru.
 "Mau ke Depnaker, ada surat yang mau dicap. Terus beli tiket kapal, Pak." masih jawab si istri. Kali ini sambil mengecek nomor di hape berwarna merah jambu. Tak lama, ia berbicara dengan seseorang yang tidak dikenalnya dengan baik. Meminta agar boleh menginap barang sebentar.Â
Si anak muda serupa turis itu tampak mengenal situasi yang dipercakapkan. Lantas berujar,"Saya tahu tempatnya. Saya kenal orangnyajuga." Ia menyebut sebuah nama yang asing bagi suami istri ini. "Sini, saya yang bicara."
Hape berpindah, percakapan berbeda. "Nanti saya bantu antar. Saya kenal kok." Wajah keduanya kini lebih lega. Saya satu-satunya yang tiba-tiba seperti patung di persimpangan kota yang mati segan hidup tak mau.
"Sudah beli tiket?"
"Belum, Pak."
"Lho, emang mo berangkat kapan?"