"Kami mau ke Sampit. Mau pulang ke Kupang,' jawab suaminya.
Saya meluruskan duduk. Keinginan tidur demi melenyapkan bosan perjalanan hilang. Sebuah kesaksian sedang meminta disimak, sebuah sejarah sedang meminta ruang bicara. Kepo adalah modal awal seorang pencerita!
"Sudah berapa tahun gak pulang?"
"Sebelas tahun, Pak,"terang suaminya yang menggunakan kuplukberwarna abu-abu dengan baju lengan panjang putih dengan beberapa bagiannya bersepuh kemerahan. Baru menyelesaikan perjalanan lumayan jauh yang berdebu. Wajahnya tirus, tubuhnya kurus. Terlihat jangkung. Istrinya, berambut keriting dengan alis tebal hanya menatap, mungkin berusaha menebak arah percakapan pembuka.Â
"Sudah 11 tahun tapi kami tak punya tabungan,"sambung istrinya sambil terkekeh,"tapi anak tiga orang bisa sekolah."
Telinga saya berdiri tegak. Sembari menatap keluar jendela kiri, pada pepohonan yang tampak berlari-lari, kemudian berganti rumah lalu kelapa sawit. Saya berusaha membayangkan tanah Kupang, kehidupan di sana, mengingat-ingat laporan resmi pemerintah soal daerah-daerah miskin tertinggal di Indonesia, kabur semua. Duh.
Lalu imajinasi saya terbang pada arsip-arsip ingatan. Tentang disertasi yang membahas era perdagangan bebas di bandar Makassar abad-XIX yang merupakan salah satu sentra perdagangan budak. Budak yang ditaklukan dari sekitaran Bima, Nusa Tenggara Barat. Disertasi dari Edward Poelinggomang, sejarawan dari Universitas Hasanudin.Â
Saya terus ingat pula pada Sultan Nuku dengan "cross-cultural alliance-nya", bikin kejang-kejang Belanda, berkoalisi dengan Inggiris. Kebesarannya ditopang pula oleh perburuan budak dari wilayah taklukan.
Saya lalu ingat riwayat generasi pendahulu dari Sangihe, Sulawesi Utara. Pada cerita yang mengisahkan mereka dikirim ke kantung-kantung perkebunan kelapa di pantai utara yang terletak antara Manado dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, oleh kompeni. Pikiran sibuk sendiri di tengah percakapan mereka. Gara-gara pertanyaan, seperti apa sejarah mereka hingga boleh hadir sebagai buruh perkebunan di sini?
"Oh, jadi ini sekalian mau berhenti?"
"Iya Pak. Kami ke Sampit sekalian bawa surat pengunduran diri." balas istrinya lagi.Â