"Bagaimana kerja di  perkebunan? Emang emang diupah berapa, banyak?"
"Ah, kerjanya begitu-begitu saja,"potong si supir. Menyimak juga rupanya. Lagu berbahasa Batak sudah berganti.
"Diupah HAK, Pak..," jawab si istri yang kini tampil sebagai pembicara. "H-A-K?"
"Harian."potong suaminya. Oh, HAK itu maksudnya Harian Kerja, kali. Batin saya yang masih menatap tarian pepohonan di luar sana.Â
"Berapa?"
"Tergantung. Kalau musim panen, bisa lumayan."
Si suami terus berkisah jam kerja yang dihabiskan setiap hari. Fasilitas berupa barak hunian dan jatah beras. Dan, entah berapa banyak kolometer yang sudah dihabiskan dengan berjalan kaki selama 11 tahun ini. Saya lantas menoleh ke kanan, curi-curi pandang ke wajah suami istri yang jauh dari tanah lahirnya, jauh dari buah cinta mereka. Ada berapa banyak orang di balik jalan raya ini yang mengalami jalan nasib sama karena berjuang melawan kemiskinan?Â
Gigih. Tapi...pikiran saya berubah "strukturalis".Â
Struktur ekonomi-politik apa yang memelihara hidup seperti ini? Bagaimana mereka boleh terpisah dari tanah lahir dan menjual tenaganya ke sini? Apa relevansi perdebatan Samuel Popkin dan James Scott tentang petani, rasionalisasi, dan pasar di cerita mereka? Atau mungkin geografi David Harvey, ketika kapitalisme perkebunan meluas, ia menarik sumberdaya murah (= buruh) untuk menopang mesin-mesinnya, bahkan dari wilayah yang jauh. Demi menjaga keberlangsungan sirkuit kapital?
Aaaakh. Percakapan belum lagi berujung. Sabar wahai pengembara!
***