Dan, terakhir, perempuan yang menjadi satu-satunya pemilik kios sembako itu pernah menjadi piaraan tuan tanah di kampungnya. Dari situ, ia memiliki modal untuk berdagang. Namun alasan ia datang kesini karena menghindari kemungkinan menjadi saksi. Tuan tanah itu terbunuh dengan leher yang hampir putus sesudah setahun menjaga rahasia kumpul kebo mereka.
Mereka semua, ibu penjual gorengan, lelaki yang terusir karena pabrik, kepala lingkungan yang lari dari huru-hara politik, dan perempuan pemilik kios sembako itu, sudi menceritakan masa lalunya. Peristiwa dan kenangan kelam tak membuat mereka menutup diri. Bahkan, menurutku, mereka berbagi asal-usulnya sering menceritakan kembali drama India yang baru saja disaksikan.Â
Maksud saya, terhadap masa lalu sendiri yang getir, mereka sudah boleh menjadi penonton. Sudah menjadi tuan atas nasibnya.
Tetapi, mengapa lelaki itu tidak? Mengapa dia tak bisa sebagai penonton terhadap nasibnya.
Dari dokumen-dokumen yang kuteliti, baik dari studi-studi mau pun laporan-laporan pemerintah, satu hal yang membuat pemukiman itu menarik secara akademik, adalah karena tidak ada yang bercerita dengan lengkap tentang sejarah atau masa lalu warga yang bermukim di situ.Â
Seolah saja, perkampungan itu tiba-tiba ada. Entah bagaimana, ketika kota sedang merancang dirinya, pemukiman itu mendadak muncul dan tampil berbeda. Seolah saja, dia hadir untuk mengatakan, tidak semua hal dapat menjadi kota.Â
Di perkampungan itu, beberapa kebiasaan memang seperti counter-culture terhadap yang disebut gaya hidup kota.
Warganya masih memiliki tradisi arisan barang, kebiasaan yang kini bisa dihitung dengan jemari tangan di desa-desa. Misalnya, jika salah satu dari mereka ada yang hendak memperbaiki rumah, mereka akan patungan untuk menyediakan bahan dan tenaga. Sesudah ada petunjuk hari baik dari pengasuh langgar, maka pengerjaan akan dilakukan bersama. Memelihara praktik arisan barang inilah yang membuat hampir semua penduduknya boleh memiliki rumah semi permanen.
"Bagaimana kebiasaan ini dimulai?" tanya saya kepada kepala lingkungan.Â
"Ketika saya kesini, praktiknya sudah dimulai. Saya hanya pendatang generasi keempat yang dipercaya dan diperintahkan untuk meneruskan dan merawatnya."
"Bapak tahu siapa yang menginisasinya?"