Aku dan Lastri kini tiba di rumah pemilik warung sembako. Bu Marni.
"Eh, nak Maudi. Apa kabar, Nak? Kemana saja? Sebulan ini tak kelihatan. Sekolahnya sudah beres?"
Bu Marni bergegas membersihkan tangannya yang penuh tepung terigu. Lalu menjabat tanganku. Kami berpelukan. Juga terhadap Lastri. Kami seperti berpuluh tahun dipisah ruang dan waktu.
"Iyaa, Bu. Penelitianku sudah diuji, sudah selesai. Aku sekarang sarjana magister. "
Aku tersenyum. Bu Marni pun membalas tak kalah bahagia. "Wah, selamat ya Nak," sambil bergegas ke dalam rumahnya, "Ayo, masuk dulu, ibu bikinkan teh untuk merayakan kelulusan nak Maudi."
"Waduh, Bu. Gak perlu repot-repot. Kami hanya mampir untuk menyampaikan terima kasih, Bu."
Langkah gegasnya berhenti di depan pintu. "Ooh. Ya sudah kalau begitu." Ada kecewa yang disamarkan. Ia berusaha tesenyum. Lastri menatapku, ada pesan perasaan tak enak melihat ekspresi bu Marni. Tapi kita tak bisa lama-lama, pesan itu kukirim lewat tatap mata ke Lastri.
"Kami akan ke rumah Kepala Lingkungan ya Bu. Sekali lagi terima kasih, Bu."
Aku dan Lastri menjabat tangan dan memeluknya sekali lagi. Bu Marni hanya tersenyum datar.Â
Pamitan, jabat tangan, dan pelukan yang sama kami lakukan kepada penjual gorengan. Kepada Kepala Lingkungan, aku menitipkan satu bundel laporan penelitian. Dan, kepada pengasuh langgar, aku hanya berpamitan dan memohon didoakan untuk masa depan yang lebih baik.
Sekarang, aku dan Lastri harus kembali ke rumah masing-masing. Sepanjang langkah keluar dari perkampungan, Lastri mengajukan protes.