Di Bawah Permukaan AirÂ
Dari bawah permukaan air,
langit terlihat luntur.
Suara gugur seperti air mata.
Tenggelamlah masa silam jadi batu,
ia yang tak bakal bangkit itu.
Di bawah permukaan air,
tertinggal hal-hal yang
diliat-lekatkan jadi lumpur.
Ia yang begitu hancur.
(Dedy Tri Riyadi, 2016)
Ada sepasang mata yang menyimpan teduh lagi lapang yang tanpa batas.
Seolah saja pada mata itu, Tuhan menitipkan pantai dengan pasir putih yang manja dan senja yang selalu hangat juga pepohonan nyiur dengan sepoi-sepoi angin serta gelombang samudra yang jauh dari lempengan tsunami.
Aku pertama jumpa mata yang seperti itu di bawah langit siang yang terik, milik tubuh yang masih dibaluti seragam putih abu-abu, dengan rambut hitam lebat seleher yang selalu menari manja kala dibelai gerak udara, berapa puluh tahun ke belakang. Ketika itu, aku sedang bertahan di tengah lapangan bola dengan beberapa bagian yang gundul ketika matahari menikam pas di atas kepala.
Seminggu sebelumnya, seamplop surat berlogo datang ke kelasku.
Surat selembar dengan perintah segera menghadap ke ruang yang di atas pintu masuknya tertulis, Bimbingan Konseling. Ruang yang disediakan untuk mendisiplinkan remaja  labil yang kehilangan cara menunjukkan protesnya, kehilangan bahasa untuk menyampaikan kritiknya, kehilangan kehangatan untuk menyampaikan suasana hatinya. Lantas melarikan semua sumbat-sumbat keresahannya kepada perilaku kepala angin hingga membuat ruang kelas sebagai pertunjukan dunia remaja tanpa ketertiban.