Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Lelaki yang Melawan Lelakinya

27 Januari 2017   12:31 Diperbarui: 27 Januari 2017   16:11 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barang siapa mengendalikan kenangan, dia bakal mengendalikan kebahagiaan.

Kau percaya itu. Kau menekankan dengan ngotot kepada Jimi, sahabat lama yang mendebatmu dengan sengit pada suatu sore. Di sebuah kafe.

Jimi tidak percaya ada keterhubungan yang menyambungkan sekarang dan yang akan datang dengan masa lalu. Baginya hidup adalah bagaimana menjadi lelaki di sini, di hari ini. Kekinian adalah koentji!

“Riwayat kebahagiaan manusia tidak memiliki pola yang tetap, demikian juga ketersesatan dalam kenangan menyedihkan, ia sesuatu yang tiba-tiba datang dari depan. Atau ia menyanderamu dari masa lalu lantas menghempaskanmu pada yang sekarang, hanya berpindah penyandera.”

“Kau harus jeli memilih dan berani menantang atau mengabaikannya. Kau harus punya pegangan dan setiap anak lelaki sudah dibekali itu sejak dalam rahim. Lelaki yang tersesat di jalan kenangannya sendiri lebih mirip sebuah olok-olok,” tegasnya.

Dan kau menghantamnya dengan kata-kata sakti di atas.

Sebenarnya agak samar di kepalamu, kata-kata itu dari mana. Entah dari Orwell atau Puzo, tidak terlalu penting. Mungkin saja dari Tohari, Pram, atau Rangkuti---apa pentingnya?

Kau hanya harus menyerang balik gagasan Jimi dengan menyitir habis ide tentang pengawasan yang sangat total. Ide yang pernah kau baca dari sebuah novel. Tapi seperti kata-kata sakti dari beribu tahun di belakang sebelum kelahiran puisi, ia telah juga samar di ingatanmu; siapakah yang menuliskannya?

“Tidak Jim. Ada pengaturan yang tak terbaca mata, yang mengontrol tubuh dan kesadaran kita, yang mendisiplinkan, agar selalu tunduk, taat. Masyarakat pendewa lelaki dan pihak berwenang menyebutnya sebagai norma-norma kepantasan, keluhuran perilaku, ketaatan pada tata krama. Daftar moral yang harus dilakukan sejak bangun pagi, sarapan, pergi memburu nafkah, pulang dan bermain dengan anak-anak hingga pergi bercinta. Daftar petunjuk yang mengklaim sebagai jalan merengkuh kebahagiaanmu,” katamu lebih terang, ”Tak jarang, apa yang menahan kita dalam kenangan adalah apa yang secara moral—dalam daftar petunjuk itu—tak boleh dilanggar. Maka dari itu, lelaki yang tersesat di jalan kenangannya adalah yang keluar dari kepantasan yang dikhotbahkan resep moral itu.”

“Apa hubungan kenangan yang sakit atau kegagalan yang traumatik dalam kontrol tubuh dan pikiran yang setotal itu, andaikan bisa dan pernah ada? Tidakkah hidup ini sederhana. Kerumitan hanya karena tafsir-tafsirnya?”

“Maksudku, ketersesatan dalam kenangan sejatinya adalah jalan, kondisi untuk pembebasan. Justru karena sesat tafsir, kita menerima penindasan kita sendiri, dari kita dan untuk kita,” tegasmu.

“Woow!”

Kau terus tersenyum. Jimi bahkan berdiri dan bertepuk tangan sambil bilang, “Kau membacanya terbalik dan melampaui yang terlihat mata. Tidak berniat mengganti nama? Sepertinya kau akan menjadi revolusioner yang sudah lama dinantikan lelaki yang sudah sekarat dengan superioritas dirinya sendiri.”

Ini pernyataan menyetujui. Bersepakat. Sebarisan kita sekarang Jim, batinmu.

***

Kau sedang berada dalam lingkaran yang terikat dari rantai pengalaman tersesat dalam kenangan: para lelaki yang lelah dengan tubuhnya.

Kau adalah poros yang bukan saja mendengarkan seluruh kesaksian. Kau juga yang membentur-benturkan tiap cerita lalu menyusun retak yang berserak dari masing-masing. Teknik mereproduksi makna dari tumbukan tiap-tiap kisah lelak-lelaki yang kelelahan di kenangannya.

Pada akhirnya, semua cerita tersesat dalam kenangan itu bermuara pada satu pertanyaan, bagaimana keluar dari padanya? Jika ini sebuah jalan, bagaimana meniti, memastikan tidak tersesat di jalan yang sama, dan menemukan happy ending-nya? Jika ia sebuah kondisi, apakah tanda-tanda yang menunjukkan “sedang hamil tua dan menanti kelahiran jiwa-jiwa baru”?

“Tentu saja, pertama kali, kita harus memberi jarak pada segala cengkeraman luka dari setiap kisah yang merawat ingatan akan kenangan gagal itu. Misalnya kau dibebani dengan mimpi lelaki di puncak karier lantas berakhir sebagai tukang parkir. Atau disesaki ideal sebagai kepala rumah tangga yang berhasil namun justru berakhir sebagai penjaja kenikmatan sesama jenis di remang perempatan malam," refleksimu sembari mengambil napas yang dalam, "Keberjarakan ini adalah jeda diri untuk memeriksa kembali cara kita memaknai mimpi yang ketika gagal dipenuhi, ia menjadi kenangan yang traumatik, bahkan menjadi teroris di bawah sadarmu! Perlu disadari, keberjarakan dari kenangan yang sakit dan menggulung ketakutanmu sejak lama tidak bisa dipenuhi dengan laku menepi dan bersendiri. Keberjarakan mengharuskan untuk berdialog, menuntun kita mengenali pertentangan dan patahan dalam cara memaknai kenangan dari banyak sudut melihat. Pertentangan dan patahan adalah dua hal yang akan menuntun pada pengenalan bentuk-bentuk kontrol yang rapi tersembunyi dari rezim lelaki terhadap lelaki.”

Resep pertama mulus kau sampaikan.

“Kita harus melepaskan diri dari ego superior, yang merasa bebas dari ketergantungan, bebas dari perasaan lemah, bebas dari perasaan butuh. Berani meninggalkan segala macam ukuran kepantasan yang telah tumbuh di kepala dan tindak tanduk sehari-hari yang dengan itu kita mematut diri sebagai ‘lelaki ideal kah saya? dan meneruskannya kepada keturunan kita dengan kecemasan yang sama."

“Harus berani meniti kembali jalan yang telah membawa kita jauh terkurung ketersesatan, seorang diri. Menitinya selayaknya lelaki pendaki yang berjalan menuju puncak, ia akan kembali menuruni punggung atau tebing curam. Ia harus menguasai bagaimana caranya kembali ke titik di mana ia memulai. Ketinggian puncak adalah keluasan cakrawala, mendaki adalah pelaksanaan pilihan-pilihan,” tegasmu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

Dan rantai-rantai hati lelaki yang letih bertepuk tangan, mereka seperti disiram cahaya sejuk yang segera dilesap habis.

“Lelaki selalu harus menemukan jalan bebas ketersesatannya sendiri. Bukan jalan pulang. Pulang sering hanyalah ketersesatan lain yang menyamarkan diri. Sebab rumah sering menjadi penjara: ia meletakkan dirimu kembali dalam kepatutan-kepatutan moral.”

Sejak merasa menemukan cara melepaskan diri dari kenangan yang menyesatkan sebagai lelaki, kau mulai mendirikan klub: Persekutuan Lelaki yang Membebaskan Lelakinya. Hari-harimu, kini, dipenuhi jadwal ceramah dan keliling, ke kota-kota dan desa-desa yang jauh. Klub yang perlahan terus membesar dalam keanggotaan. Dari kota-kota yang sesak dengan gedung-gedung pencakar langit hingga ke desa-desa yang suram di balik kepul hitam asap pabrik-pabrik.

Kau, ide, dan perkembangan klubnya telah menjadi wabah yang berbahaya.

***

Di sebuah ruang yang khusus menangani jenis-jenis subversi moral—demikian aparat berwenang memberi namanya, kau sedang duduk di tengah dengan kursi yang membentuk lingkaran. Hanya ada kosong dan hening di mana kau hanya memandang lurus-lurus ke tanah. Menanti giliran integorasi.

“Ide dan kelompokmu mengguncang tatanan, merusak harmoni, kau tahu?”

“Itu keniscayaan,” jawabmu,“ Bahkan kini berpeluang melahirkan chaos bahkan collapse.”

“Kau ingin tahu?” tanyamu sendiri. Kau paham, interogator itu kehilangan cara untuk bertanya.

“Ini hidup ditentukan oleh rezim lelaki. Segala petunjuk dan idealisme moralnya diturunkan dari citra diri lelaki. Aku lelaki, mengapa berkehendak merusak tatanan yang mendewakan diriku sendiri?”

Kau memicu penjelasan dengan aksi monolog.

“Ideal-ideal itu telah menjadi beban, di beberapa orang berfungsi layaknya kutukan. Kegagalan memenuhinya telah menjadi arsip-arsip kenangan yang terus diratapi diam-diam. Rasa sakitnya tersembunyi dalam rutinitas yang sibuk, dalam perburuan karier yang saling memangsa, dalam libur-libur akhir pekan yang mengasingkan, dalam harmoni rumah tangga yang lebih sebagai keinginan untuk diakui sebagai lelaki sukses. Lelaki tidak lagi menyadari keterbatasannya sendiri,” terangmu.  

“Kau penuh dendam kepada hidup yang normal. Padahal kau memiliki istri yang cantik dan anak-anak yang berprestasi. Kariermu pun melesat cepat. Hidup sepertimu banyak dirindukan.”

Hanya itu komentar interogator. Ia merasa berhadapan dengan kegilaan, sesuatu yang lebih mencemaskan dari subversif, sejujurnya.

“Sebab saya pernah hidup sebagai perempuan.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun