“Ideal-ideal itu telah menjadi beban, di beberapa orang berfungsi layaknya kutukan. Kegagalan memenuhinya telah menjadi arsip-arsip kenangan yang terus diratapi diam-diam. Rasa sakitnya tersembunyi dalam rutinitas yang sibuk, dalam perburuan karier yang saling memangsa, dalam libur-libur akhir pekan yang mengasingkan, dalam harmoni rumah tangga yang lebih sebagai keinginan untuk diakui sebagai lelaki sukses. Lelaki tidak lagi menyadari keterbatasannya sendiri,” terangmu.
“Kau penuh dendam kepada hidup yang normal. Padahal kau memiliki istri yang cantik dan anak-anak yang berprestasi. Kariermu pun melesat cepat. Hidup sepertimu banyak dirindukan.”
Hanya itu komentar interogator. Ia merasa berhadapan dengan kegilaan, sesuatu yang lebih mencemaskan dari subversif, sejujurnya.
“Sebab saya pernah hidup sebagai perempuan.”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H