Dan rantai-rantai hati lelaki yang letih bertepuk tangan, mereka seperti disiram cahaya sejuk yang segera dilesap habis.
“Lelaki selalu harus menemukan jalan bebas ketersesatannya sendiri. Bukan jalan pulang. Pulang sering hanyalah ketersesatan lain yang menyamarkan diri. Sebab rumah sering menjadi penjara: ia meletakkan dirimu kembali dalam kepatutan-kepatutan moral.”
Sejak merasa menemukan cara melepaskan diri dari kenangan yang menyesatkan sebagai lelaki, kau mulai mendirikan klub: Persekutuan Lelaki yang Membebaskan Lelakinya. Hari-harimu, kini, dipenuhi jadwal ceramah dan keliling, ke kota-kota dan desa-desa yang jauh. Klub yang perlahan terus membesar dalam keanggotaan. Dari kota-kota yang sesak dengan gedung-gedung pencakar langit hingga ke desa-desa yang suram di balik kepul hitam asap pabrik-pabrik.
Kau, ide, dan perkembangan klubnya telah menjadi wabah yang berbahaya.
***
Di sebuah ruang yang khusus menangani jenis-jenis subversi moral—demikian aparat berwenang memberi namanya, kau sedang duduk di tengah dengan kursi yang membentuk lingkaran. Hanya ada kosong dan hening di mana kau hanya memandang lurus-lurus ke tanah. Menanti giliran integorasi.
“Ide dan kelompokmu mengguncang tatanan, merusak harmoni, kau tahu?”
“Itu keniscayaan,” jawabmu,“ Bahkan kini berpeluang melahirkan chaos bahkan collapse.”
“Kau ingin tahu?” tanyamu sendiri. Kau paham, interogator itu kehilangan cara untuk bertanya.
“Ini hidup ditentukan oleh rezim lelaki. Segala petunjuk dan idealisme moralnya diturunkan dari citra diri lelaki. Aku lelaki, mengapa berkehendak merusak tatanan yang mendewakan diriku sendiri?”
Kau memicu penjelasan dengan aksi monolog.