Jono tidak berani lagi memandang bapak. Hanya menatap tanah yang kini terlihat mengabur, basah.
Ternyata nenek tidak khawatir dengan perilaku badung dan bengal cucunya. Nenek bukan juga tak tega melihat bapak dan ibu yang banting tulang untuk membiayi sekolah anak tunggalnya. Nenek hanya cemas manakala mengetahui generasi mereka yang mandi darah untuk bisa hidup normal sebagai manusia harus menjumpai harapnya yang hancur karena generasi sesudah mereka tidak memiliki tanggungjawab.
"Menjadi merdeka itu berani bertanggungjawab. Siapa pun kamu dalam hidup di masa datang, tanggungjawablah yang akan menjaga martabatmu sebagai manusia merdeka. Bertanggungjawab terhadap kemuliaan dalam dirimu juga kemuliaan pada manusia yang sepertimu. Bertanggungjawab atas kemanusiaan sebagai sebaik-baiknya makhluk. Kalau sekolah tidak bisa memberimu cara menjadi manusia bertanggungjawab, jangan kutuk sekolah. Sekolah bukan satu-satunya jalan menjadi manusia."Â
Jono merasa diserang petir di relung hati yang lama hidup dalam pongah. Pongah yang memandang rendah pengetahuan nenek akan hidup hari ini, tentang sekolah yang dihidupi oleh manusia-manusia jenis kabel putus. Sekolah yang merawat kematian harap anak-anak yang kurang beruntung.
***
Setiap hujan deras menghantam atap seng pada rumah panggung kayu di malam buta, Jono pasti didera gigil berbungkus sarung nenek yang terus tipis. Jono akan terjaga seperti orang dungu hingga pagi menjelang. Terkenang-kenang pesan nenek.
Pesan yang akan setia datang ketika Jono merasa lelah dan hendak menyerah menjalani hidup sebagai sukarelawan pengajar anak-anak jalanan yang terbuang dari masyarakat. Anak-anak yang hidup dalam kekerasan kota setiap detik.
Sesudah lulus SMA, Jono memang memohon ijin pada bapak dan ibu. Bapaknya menyambut dengan sukacita. Tidak pernah meminta harus menjalani masa depan dengan karir melampaui dirinya seperti dicekokan sekolah dulu.
Pesan bapaknya saat itu, "nikmati segala konsekuensinya dengan gembira."
"Jono hanya ingin menjadi manusia yang bertanggungjawab atas kemuliaannya juga kemuliaan manusia lain, Pa."
Bapak tersenyum.